jpnn.com, JAKARTA - Revolusi Industri 4.0 memberi banyak tantangan transformasi ketenagakerjaan yang harus diantisipasi semua pihak. Tantangan transformasi ketenagakerjaan di antaranya adalah tantangan transformasi keterampilan, tantangan transformasi pekerjaan, dan tantangan transformasi masyarakat.
“Akses peningkatan kompetensi yang masif serta kehadiran negara melalui jaminan sosial yang mampu melindungi pekerjaan dan pendapatan warga negaranya menjadi sangat krusial dalam menghadapi revolusi industri 4.0 saat ini," kata Sekretaris Jenderal Kemnaker, Khairul Anwar saat membuka Kongres Nasional Indonesia Kompeten pada Rabu (21/11).
BACA JUGA: Kemnaker Dorong Serikat Pekerja Terus Perkuat Forum Dialog
Sekjen Khairul mengatakan pemerintah dan dunia industri harus bekerja sama dalam mengantisipasi menghadapi tantangan pertama yaitu tantangan transformasi keterampilan. Pekerjaan yang berubah menuntut keterampilan yang berubah juga.
“Tantangan kedua adalah tantangan transformasi pekerjaan (job transformation). “Akibat dari perkembangan teknologi, bekerja tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu,” kata Khairul
BACA JUGA: Dunia pendidikan dan Industri Bersinergi Hadapi Revolusi 4.0
Menurut Khairul, bekerja saat ini bisa dilakukan dimana saja. Anytime and anywhere. Akibat perkembangan teknologi pula, Part Time Job 4.0 juga dimungkinkan. Part Time Job 4.0 adalah kondisi kerja dimana satu orang memungkinkan memiliki lebih dari 1(satu) mata pencaharian.
“Misalnya, seorang karyawan kantor bisa bekerja di kantornya pada siang harinya dan menjajakan properti di malam harinya melalui situs online," tutur Khairul.
BACA JUGA: Menaker Minta Pemerintah Desa Bantu Lindungi Pekerja Migran
Teknologi juga menyebabkan batasan ruang lingkup kerja semakin samar dan pekerja-pekerja kontrak bebas tumbuh pesat. Selain itu dengan tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi dan semakin banyaknya pekerjaan-pekerjaan repetitif yang bisa digantikan mesin atau robot, pekerjaan yang tersisa kedepannya hanyalah pekerjaan dengan very high skills atau low skills saja.
“Tantangan ketiga adalah tantangan transformasi masyarakat (society transformation). Dampaknya terhadap masyarakat, ketimpangan kompetensi dan pendapatan antara individu yang memiliki akses komputer dan internet akan semakin terasa di era Revolusi Industri 4.0 ini," kata Khairul.
Untuk menjawab ketiga tantangan ini salah satu solusinya adalah kebijakan pasar tenaga kerja inklusif (inclusive labor market policy).
“Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan tingkat kompetensi serta, redistribusi pendapatan dan aset, yang berarti lebih banyak jaminan sosial untuk individu yang lemah dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi factor penting,” kata Khairul.
Kementerian Ketenagakerjaan menggelar program-program pelatihan dan sertifikasi APBN di Balai Latihan Kerja (BLK) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Pada tahun 2018, Kemnaker memiliki target untuk melatih sebanyak 159.064 orang dan mensertifikasi sebanyak 260.024 orang tenaga kerja. Di 2019, APBN akan melatih sebanyak 526.344 orang, termasuk di dalamnya program pemagangan, dan mensertifikasi sebanyak 526.189 orang tenaga kerja.
“Ini bukti nyata bahwa pemerintah serius untuk menangani masalah kompetensi tenaga kerja nasional. Diharapkan jumlah ini terus meningkat hingga kita dapat melatih hingga 1.4 juta orang tenaga kerja yang berkualitas per tahun melalui triple skills, yaitu skilling, re-skilling, dan up-skilling. Hal ini penting untuk mengejar ketertinggalan tantangan bonus demografi kita,” kata Khairul.
Selain itu, Kemnaker juga berkomitmen untuk mendorong program GNIK (Gerakan Nasional Indonesia Kompeten) yang distimulasi oleh gerakan sertifikasi 4.000 praktisi HR dan meluluskan 400.000 peserta pemagangan bersertifikat di seluruh Indonesia. Gerakan ini hanya permulaan, karena tantangan SDM kita kedepan jauh lebih besar dari sekedar pelatihan PBK, Program Pemagangan dan sertifikasi.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dukung Industri Animasi, Menaker Bikin Creative Room
Redaktur : Tim Redaksi