jpnn.com - SURABAYA - Kasus jual beli kamar yang mulai terungkap akhir-akhir ini membuat sejumlah pasien yang pernah mendapat pengalaman buruk angkat bicara. Tining misalnya. Warga asal Sidoarjo itu harus rela kehilangan suaminya hanya karena janji kamar yang tidak kunjung ada.
Kejadian itu berawal dua tahun silam ketika sang suami (alm) Sunarto positif menderita kanker lidah. Setelah mendapat perawatan, Sunarto dianjurkan melakukan kemoterapi. Karena bermodal jamkesmas, Tining membawa sang suami masuk melalui kamar terima bedah (KTB).
BACA JUGA: Duh...Kemaluan Sendiri Dipotong
Namun, dia kurang beruntung. Petugas KTB mengatakan bahwa kamar untuk kemoterapi sudah penuh dan harus mengantre hingga tiga bulan. "Waktu itu, kami kecewa. Padahal, bapak perlu pertolongan secepatnya," ujarnya.
Sesuai arahan dari petugas KTB, Tining selalu aktif menelepon untuk menanyakan kondisi kamar apakah ada yang kosong atau tidak. Bahkan, jika ada kesempatan, dia mendatangi langsung ruangan tersebut. "Rumah saya kan lumayan jauh. Ya, waktu itu saya memantaunya lewat telepon saja. Kadang kalau sempat, saya langsung ke sana," ungkapnya.
BACA JUGA: Polisi Sita 56 ribu Petasan
Sayang, setelah tiga bulan berlalu, kamar yang dijanjikan tak kunjung ada. Untuk kali kesekian upaya Tining untuk meminta kamar selalu kandas. Padahal, kondisi sang suami waktu itu sangat serius. "Ya, waktu itu saya hampir pasrah. Sebagai orang yang nggak punya, saya hanya bisa merawat bapak di rumah sambil melakukan kontrol ke poli," ujarnya.
Pada akhirnya, tepat satu hari setelah Tining memeriksakan suami ke poli, keesokannya sang suami meninggal. "Ya, waktu itu Jumat kontrol ke poli. Sabtunya bapak sudah nggak ada," ujarnya, lantas tercenung.
BACA JUGA: Hotspot di Riau Turun Drastis
Setelah sang suami meninggal, ternyata Tining masih penasaran dengan antrean kamar di RSUD dr Soetomo. Akhirnya, dia kembali menelepon meski sebenarnya sudah tidak berkepentingan lagi dengan kamar tersebut.
Namun, upayanya menanyakan kamar tersebut justru mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan. "Saya waktu itu ditanyai nomor antrean berapa? Ya, saya jawab antrean 200 sekian. Namun, si petugas bilang suruh sabar. Kemudian, saya mendesak lagi, eh dia malah bilang pokoknya kalau belum, ya belum," ungkap Tining.
Nah, kejadian tersebut membuat Tining semakin penasaran. Hingga suatu ketika pada percobaan berikutnya, dia menemukan kecurigaan. "Pada upaya yang terakhir, ketika saya menanyakan kamar, si petugas malah bilang, kalau saya bisa menyiapkan uang Rp 7 juta, suami saya dapat kamar dan segera mendapat perawatan," ujar ibu empat anak itu.
Sontak saja, perkataan tersebut membuat Tining terdiam. Sebagai orang yang sehari-hari bekerja sebagai penjual rujak manis, dia merasa aneh dengan perkataan itu dan akhirnya memilih untuk tidak mau meneruskan lagi.
"Ya buat apa saya terusin, lah wong suami saya sudah meninggal. Cuma saya mbatin, ternyata selama ini yang bikin lama hanya masalah duit. Lagian kalau bapak masih ada, ya saya juga nggak punya duit segitu," jelasnya.
Inspektorat Bertindak
Setelah berhasil menggandeng KPK lagi terkait dengan kasus dugaan suap antrean di kamar terima bedah (KTB) RSUD dr Soetomo, hari ini Inspektorat Jatim resmi membentuk tim pencari fakta di lapangan. Kepala Inspektorat Jatim Bambang Sadono menjelaskan, tindak lanjut tersebut dilakukan setelah mendapat instruksi dari Gubernur Jatim Soekarwo pada Selasa (23/7) untuk mencari fakta praktik suap antrean tersebut.
Dia menyatakan bahwa tim terdiri atas tiga pegawai di lingkungan Inspektorat Jatim. Mulai kemarin (24/7) tim itu resmi bertugas untuk mencari fakta.
Bambang menegaskan, tim tersebut nanti terjun ke RSUD dr Soetomo untuk menelusuri temuan dari media terkait dengan beberapa pasien yang menderita karena ketidakjelasan antrean di KTB. Pada praktiknya nanti, tim menelusuri nama-nama pasien yang muncul dan ditulis di media.
Langkah itu, menurut dia, adalah langkah awal sebelum Inspektorat Jatim menggandeng KPK lagi. Sebab, bila belum terbukti dan melacak nama-nama pasien yang muncul di media, pihaknya belum bisa meminta KPK untuk mengusut ulang.
"Terlebih, permasalahan ketidakjelasan antrean kamar sudah diterima KPK," tegas alumnus UPN Veteran Surabaya itu. Dia berjanji mencari fakta di lapangan sebelum membawanya ke KPK lagi.
Dalam upaya mencari fakta tersebut, pihaknya berharap media memberikan identitas pasien antre KTB yang tidak terlayani dan pernah ditawari untuk menyuap petugas agar antreannya dipercepat.
Menurut dia, karena dugaan itu bermula dari temuan media, pihaknya melalui tim akan menelusuri keberadaan pasien-pasien tersebut. Selanjutnya, pihak inspektorat membuat berita acara tertulis dari nama-nama pasien atau keluarga pasien itu yang pernah memiliki pengalaman soal antrean KTB. "Sebab, kalau hanya omongan kan bisa berubah-ubah, bukti itu kurang kuat," tegasnya.
Soal lamanya penyegaran petugas pengelola KTB, dia menjelaskan bahwa hal itu bisa jadi suatu pelanggaran. "Aturannya, untuk pejabat tingkat eselon ada mutasi setahun sekali," jelasnya.
Namun, kata Bambang, bila petugas yang menjadi penanggung jawab KTB hanya memiliki satu staf, tidak ada ketentuan yang mengatur rotasi. (dha/kus/c6/c7/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Sanggup Bayar Biaya Persalinan, Bayi Baru Lahir Dijual Ibunya
Redaktur : Tim Redaksi