JAKARTA - Penyelenggaraan haji tidak hanya membuat gaduh di Indonesia saja. Kondisi serupa ternyata juga terjadi di Malaysia. Dalam pertemuan jamuan makan malam Senin malam (14/5), Menteri Agama RI dan Malaysia saling intip sistem pengelolaan haji kedua negara.
Dari pihak Indonesia, Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) masih bisa menegakkan kepala. Terutama soal pengelolaan jamaah haji Indonesia yang jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan jamaah haji Malaysia. SDA mengatakan, setiap tahun Idonesia mendapatkan pagu tetap dari kerajaan Saudi sebanyak 220 ribu jamaah. Sementara di Malaysia hanya 28 ribu orang per tahun.
"Tentu mengelola jamaah yang banyak, memiliki tantangan yang lebih besar," katanya. Untungnya, kata SDA, pengelolaan jamaah haji di Indonesia yang banyak itu tidak sampai menimbulkan persoalan yang menonjol. Dia lantas mengatakan, merujuk pada survei Badan Pusat Statistik (BPS), indeks kepuasan jamaah haji terus meningkat setiap tahunnya.
Untuk persoalan panjang antrean, SDA mengatakan jika di Indonesia sudah mencapai belasan tahun. Panjangnya anteran ini ternyata sering memicu persoalan. Dari kasus ini, Kemenag menurutnya, sering dicap tidak bisa mengelola banyaknya masyarakat Indonesia yang ingin berhaji. SDA menegaskan, pengelolaan antrean ini sangat terkait dengan penetapan pagu dari pemerintah Saudi. "Jika pagunya ditambah, tentu bisa cepat memangkas antrian haji," katanya.
Meski panjang antrian haji di Indonesia mencapai belasan tahun, SDA masih bisa pamer ke Malaysia. Sebab di negeri jiran itu panjang antreannya mencapai 30 tahun! "Memang benar panjang antrean haji di negeri kami 30 tahun lamanya," ucap Menag Malaysia Dato" Seri Jamil Khir Bin Baharom.
Dia mengatakan, penyebab panjangnya antrean itu hampir sama dengan di Indonesia. Yaitu tidak seimbangnya antara minat berjamaah haji dengan kuota yang ditetapkan oleh kerajaan Saudi. Dato Seri Jamil mencatat, saat ini calon jamaah haji yang antre mencapai 820 ribu orang. Dengan rata-rata kuota haji 28 ribu per tahun, maka panjang antrean mencapai 30 tahun. "Kita akan berusaha mencontoh sistem pemerintah Indonesia mengelola antrian haji," kata dia.
Sementara itu, pihak Malaysia memiliki keunggulan dalam pengelolaan haji di pos lainnya. Yaitu pengelolaan dana simpanan haji."Kita akan mempelajari bagaimana Malaysia mengelola dana simpanan jamaah haji," tutur SDA.
Dato Seri Jamil mengatakan, di Malaysia dana haji dikelola secara independen oleh sebuah lembaga yang dibentuk kerajaan. "Jadi posisinya setara dengan lembaga swasta," kata dia. Dengan sistem pengelolaan ini, bisa lebih independen dan manfaatnya bisa dirasakan kembali oleh jamaah.
Efektivitas pengelolaan dana haji di Malaysia sepertinya bakal dicontoh oleh Indonesia. Tapi, bukan pada urusan pengelolaan yang diswastakan. Seperti diketahui beberapa waktu lalu, kalangan DPR meminta supaya ada lembaga atau badan khusus di luar Kemenag yang dipasrahi mengelola dana haji. Tapi usulan ini masih perlu kajian mendalam oleh pihak Kemenag.
Lantas bagaimana soal biaya haji? Dato Seri Jamil mengatakan, setelah dipotong subsidi, setiap jamaah haji di Malaysia tahun ini membayar BPIH hampir RM 10.000 (setara dengan Rp 29,9 juta). Dia mengatakan, subsidi haji di Malaysia mencapai RM 4.000 (Rp 12,1 juta) per jamaah. Dengan BPIH tadi, pemondokan jamaah berada di radius 1.000 meter dari Masjidil Haram.
Sementara di Indonesia, tahun lalu rata-rata BPIH dipatok Rp 30,7 juta per jamaah. Sedangkan untuk BPIH tahun ini, diperkirakan naik antara Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per jamaah. Dengan biaya yang lebih tinggi ini, pemondokan jamaah haji Indonesia berada di radius hingga 1.500 meter dari Masjidil Haram. (wan/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masa Aktif Tim Rusia Diperpanjang
Redaktur : Tim Redaksi