Facebook telah membatasi penggunanya di Australia untuk mendapatkan konten-konten berita dari dalam dan luar negeri.

Kamis kemarin (18/01), pengguna Facebook di Australia sudah tidak lagi melihat konten berita di 'NewsFeed' atau linimasa mereka.

BACA JUGA: Dua Demonstran Tewas Dibunuh Polisi, Facebook Hukum Militer Myanmar

Akun-akun Facebook milik perusahaan media dan penerbit konten berita juga tidak dapat diakses, termasuk halaman Facebook ABC Indonesia.

Langkah yang diambil Facebook untuk tidak lagi menayangkan konten berita di Australia adalah sebagai tanggapan atas gagasan Pemerintah Australia untuk meloloskan undang-undang 'News Media Bargaining Code'.

BACA JUGA: Facebook Akhirnya Minta Maaf pada Pemerintah Australia

  Apa itu 'News Media Bargaining Code'?

Pada 20 April 2020 Pemerintah Australia telah meminta Komisi Persaingan Usaha dan Pelanggan (ACCC) untuk mengembangkan kode etik yang sifatnya wajib untuk mengatasi "ketidakseimbangan" daya tawar bisnis media pemberitaan dengan platform digital, seperti Google dan Facebook.

BACA JUGA: Kanada Bakal Ikut Mewajibkan Facebook Bayar Konten Berita

Rancangan Undang-undang tersebut mulai diperkenalkan kepada Parlemen Australia pada 9 Desember tahun lalu.

Pemerintah Australia mengatakan rancangan UU tersebut menjadi yang pertama di dunia mengatur soal kegiatan bisnis perusahaan teknologi besar, seperti Google dan Facebook.

Tujuan lain yang ingin dicapai dari undang-undang kode etik tersebut adalah "mempertahankan jurnalisme yang melaporkan kepentingan publik" di Australia.

Pemberlakuan pertama akan dilakukan terhadap 'Google Search' dan 'FacebookNewsfeed', sementara perusahaan lainnya akan menyusul jika terbukti ada ketidakseimbangan daya tawar, atau 'bargaining power'. Photo: Postingan di akun Facebook media pemberitaan resmi ABC News Australia sudah tidak bisa diakses sejak hari Kamis (18/02). Namin Anda tetap bisa memperoleh berita secara langsung di website www.abc.net.au. (Supplied)

  Mengapa dianggap ada 'ketidakseimbangan'?

Menurut laporan keuangan yang diterima oleh otoritas pengatur usaha di Australia (ASIC), pendapatan Facebook di Australia telah meningkat 16 persen menjadi AU$673.985.213 pada tahun 2019.

Facebook menjelaskan perusahaan bertindak sebagai 'reseller' dari layanan iklan untuk konsumen di Australia melalui perjanjian dengan perusahaan lain dan menghasilkan pendapatan utama melalui penjualan kembali inventaris iklan di Facebook.

Sementara itu, serikat pekerja media, hiburan dan seni di Australia (MEAA) dalam pernyataanya mencatat Google dan Facebook mendapat pemasukan dari iklan di Australia dengan total keduanya setidaknya sekitar AU$ 5 miliar pada periode 2018-2019.

Dibandingkan dengan pendapatan iklan dari lima perusahaan media komersil di Australia yang jika digabungkan totalnya bernilai AU$4,6 miliar.

Jika RUU ini disahkan, maka perusahaan media di Australia yang memenuhi syarat akan melakukan tawar-menawar dengan Google dan Facebook untuk mendapatkan pembayaran konten berita yang mereka produksi dan muncul di 'Facebook NewsFeed' atau 'Google Search'.

Undang-undang ini nantinya tidak mewajibkan berapa banyak yang harus dibayar, melainkan mengatur proses negosiasi wajib.

Dalam RUU disebutkan perusahaan media dan penyedia platform akan diberikan waktu selama tiga bulan untuk mencapai kesepakatan melalui negosiasi formil. Photo: Pemerintah Australia telah menyiapkan rancangan aturan kode etik yang akan meminta perusahaan jejaring sosial untuk membayar kepada perusahaan media. (Getty Images: Robert Cianflone)

  Apa kata media di Australia soal ini?

Tentunya jawabannya beragam, ada yang menolak atau menyambutnya.

Salah satu yang menyambut baik adalah perusahaan media seperti Nine, Seven, News Corp, dan Commercial Radio Australia.

Di bulan Mei, Direktur Utama Nine dan mantan Treasurer Australia, Peter Costello mengatakan kode etik ini nantinya harus bisa memaksa perusahaan digital, seperti Google dan Facebook, untuk membayar sekitar A$600 juta setahun kepada perusahaan media Australia.

Sementara Michael Miller, Direktur Eksekutif News Corp Australia menyambutnya dengan mengatakan adanya "perilaku yang tidak adil dan merusak" dari perusahaan raksasa teknologi, seperti yang dikutip dari Reuters.

"Hari-hari di mana platform teknologi menunggangi konten orang lain secara gratis telah berakhir," ujar Michael dalam pernyataan kepada ABC.

"Mereka memperoleh manfaat yang sangat besar dari penggunaan konten berita yang dibuat oleh orang lain dan inilah saatnya bagi mereka untuk berhenti menyangkal kebenaran ini."

Sementara ABC dan SBS, sebagai lembaga penyiaran dan media publik dikecualikan dari proses ini, karena pemerintah mengatakan pendapatan iklan bukanlah sumber pendanaan utama untuk media yang sumbernya didanai pajak warga Australia.

Samantha Floreani, seorang aktivis soal hak digital mengatakan jika Australia khawatir dengan keadaan jurnalisme di Australia, maka perusahaan harus memiliki pendanaan yang benar.

"Jika kita khawatir raksasa perusahaan teknologi menghasilkan pendapatan terlalu banyak, maka kita harus memberlakukan pajaknya dengan benar."

"Aturan kode etik ini tidak akan mengatur hal ini dan tidak akan menyelesaikan masalah ini," tulis Samantha dari Digital Rights Watch dalam kolom opini Sydney Morning Herald.

Artikel ini diproduksi oleh Erwin Renaldi dari berbagai sumber.

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Indonesia yang Menolak Divaksinasi Terancam Denda Sampai Rp 5 Juta

Berita Terkait