jpnn.com - Selasa, 10 Februari 2021, Koalisi Indonesia Memantau (KIM) mengadakan Konferensi Pers bertajuk “Menatap ke Timur—Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua.”
KIM mendesak Pemerintah untuk segera menghentikan deforestasi di Tanah Papua.
BACA JUGA: Filep Wamafma Minta Kapolri Listyo Berdayakan dan Promosikan Perwira Polri dari Papua
Permintaan ini sangat beralasan mengingat Hutan Papua, yang merupakan salah satu penyangga oksigen bumi, sekaligus pemelihara ekosistem dunia, makin berkurang dari hari ke hari.
Citra satelit secara jelas membuktikan bahwa Hutan Papua dibuka untuk perkebunan tertentu, sawit misalnya.
BACA JUGA: KLHK Hentikan Penambangan Ilegal Minyak Bumi di Kawasan Hutan Sungai Air Mato Jambi
Harus diakui bahwa tanah dan hutan Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari eksistensi Orang Papua. Keduanya dipandang sebagai Ibu Kehidupan, yang darinya Orang Papua beroleh “napas kehidupan”.
Filosofi ini tertanam dalam diri setiap anggota masyarakat adat Papua. Dalam tataran yang lebih luas, tanah dan hutan merupakan lebensraum, yaitu ruang hidup yang menjadi tuan bagi manusia, yang harus dijaga, karena sejatinya manusia hanyalah tamu di bumi.
BACA JUGA: DPR Soroti Besarnya Pemotongan Anggaran Program Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Sekarang, kekhawatiran kita makin bertambah, saat UU Cipta Kerja lahir dan tidak memposisikan kekhususan Tanah Papua. Apalagi UU ini bisa “mengkudeta” kewenangan Pemerintah Daerah dalam beberapa hal semisal perizinan, investasi, atas nama pembangunan demi kepentingan nasional.
Inilah yang seharusnya diperhatikan Pemerintah Pusat. Persoalan Tanah dan Hutan Papua merupakan persoalan hidup dan mati Orang Papua.
Deforestasi atas nama apapun, tanpa mendengarkan masyarakat adat Papua, sama dengan menghancurkan eksistensi Orang Papua di tanahnya sendiri. Yang lebih parah lagi ialah bila perubahan hutan menjadi lahan perusahaan perkebunan, tidak menyisakan apapun bagi masyarakat adat.
Secara pribadi, saya sangat mendukung desakan untuk segera menghentikan deforestasi atas nama apapun, sekaligus meminta agar masyarakat adat, sebagai “pemilik” tanah dan hutan Papua, dihormati hak-haknya.
Kita tidak sekadar berpikir untuk hari ini, melainkan berpikir untuk generasi Papua di masa depan. Apa yang akan mereka dapatkan bila tanah dan hutannya dihabiskan untuk investasi? Kita tidak bisa makan uang, saat seluruh isi alam “habis” maka uang menjadi tidak berarti apa-apa.
Papua Barat, dalam skala global, telah memiliki Peraturan Daerah Khusus Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat. Perdasus ini mengharuskan adanya perlindungan secara integral terhadap tanah, hutan, dan alam Papua, demi pembangunan berkelanjutan. Dapat dikatakan, bila deforestasi terus terjadi, maka Pemerintah Pusat tidak konsisten dalam menjalankan komitmen sustainable development goals.
Komitmen yang kemudian diperintahkan kepada setiap daerah untuk dijalankan ini, justru dikebiri oleh Pemerintah Pusat sendiri, yang atas nama kepentingan nasional, cenderung membuka peluang bagi deforestasi.
Oleh karena itu, sudah saatnya beberapa hal ini diperhatikan Pemerintah: 1. Menghentikan serta mengawasi secara tegas dan terintegrasi semua peristiwa deforestasi; 2. Mengembalikan hak-hak masyarakat adat terkait hak atas tanah dan hutannya yang dirampas secara sewenang-wenang;
3. Melibatkan peran masyarakat adat dalam hal pembangunan yang berdampak bagi tanah dan hutan Papua.
Jadi, apa kabar hutan Papua di masa depan? Alam yang indah ini hanya akan tinggal namanya saja dalam sejarah bila tidak ada perhatian yang serius terhadap eksistensinya.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich