Apakah Ucapan Ruslan Buton Bikin Jokowi Otomatis Berhenti Jadi Presiden?

Minggu, 31 Mei 2020 – 20:45 WIB
Neta S Pane. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, Mabes Polri sebaiknya segera membebaskan Ruslan Buton, pecatan TNI yang ditangkap karena meminta Presiden Jokowi mundur.

Neta menilai, hal yang dituduhkan Polri kepada Ruslan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Hanya menunjukkan sikap kekhawatiran jajaran kepolisian yang tidak promoter.

BACA JUGA: Catat, Ruslan Buton Tidak Mengangkat Senjata atau Memberontak

"IPW menilai, sebagai rakyat, Ruslan sebatas menyatakan aspirasi dan penyampaian aspirasi seorang rakyat dijamin oleh UUD 1945. Polri boleh menangkap dan memeriksa Ruslan, lalu mengingatkannya, untuk kemudian melepaskannya," ujar Neta dalam pesan tertulis, Minggu (31/5).

Ruslan dikerahui diamankan saat berada di rumahnya di Kecamatan Wabula, Buton, Sultra Kamis (28/5) kemarin.

BACA JUGA: Ruslan Buton Ditahan di Bareskrim, Kuasa Hukum Langsung Ajukan Penangguhan Penahanan

Penahanan dilakukan setelah Ruslan meminta Presiden Joko Widodo mundur lewat video yang viral di media sosial pada 18 Mei lalu.

Dalam video itu Ruslan menilai tata kelola berbangsa dan bernegara di tengah pandemi corona sulit diterima akal sehat. Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi.

BACA JUGA: Pernyataan Terbaru Mabes TNI AD tentang Sosok Ruslan Buton

Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden. Bila tidak, bukan mustahil akan terjadi gelombang gerakan revolusi rakyat.

Ruslan dijerat pasal berlapis. Selain pasal tentang keonaran, dia dijerat UU ITE. Yakni Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP. Sehingga dia dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.

"IPW menilai Polri terlalu paranoid dengan mengenakan pasal pasal itu terhadap Ruslan. Polri terkesan alpa dengan kebebasan menyampaikan aspirasi yang dijamin UUD 45," ucapnya.

Lebih lanjut Neta mengatakan, Ruslan sebatas menyatakan aspirasi dan mengingatkan. Tidak ada ajakan melakukan tindak pidana. Karena itu, kata Neta, tindakan Ruslan belum dapat dikualifikasi sebagai sebuah tindak pidana, apalagi membuat keonaran.

"Begitu juga mengenai pasal informasi bohong yang disangkakan polisi terhadap Ruslan, menjadi pertanyaan, dimana bohongnya," kata Neta.

Neta kemudian bertanya, apakah dengan pernyataan Ruslan, Jokowi bisa sertamerta berhenti menjadi presiden? "Tentunya tidak. Pemberhentian presiden sudah diatur UUD 1945 dengan memenuhi lima persyaratan," tuturnya.

Kelima syarat yang dimaksud masing-masing, jika terlibat korupsi, terlibat penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, melakukan kejahatan dengan ancaman lebih dari lima tahun dan kalau terjadi keadaan di mana tidak memenuhi syarat lagi.

Menurut Neta, di luar kelima syarat yang diatur tersebut, membuat kebijakan apa pun Jokowi tidak bisa diberhentikan di tengah jalan. Apalagi hanya membuat kebijakan mengatasi Covid-19.

"Jadi, jika Polri terlalu parno terhadap pernyataan Ruslan, Polri bisa saja memanggil, menangkap dan memeriksanya. Tetapi kemudian membebaskannya, setelah menasehati atau mengingatkan Ruslan," pungkas Neta. (gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler