Aparat Hukum Dituding Tak Patuhi Putusan MK

Terkait Belum Bebasnya Parlin Riduansyah

Rabu, 13 Februari 2013 – 03:39 WIB
JAKARTA - Aparat hukum dinilai tak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut Pasal 197 UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini tercermin dengan tak dibebaskannya Parlin Riduansyah, terpidana kasus perambahan hutan di Kalimantan Selatan, yang juga merupakan pemohon gugatan uji materiil Pasal 197 KUHAP yang disidangkan akhir 2012 lalu.

Meski MK mengabulkan gugatannya, namun hingga kini Parlin masih tercatat sebagai penghuni Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menolak membebaskan Parlin, dengan alasan terpidana yang sudah dieksekusi tak bisa dibebaskan meskipun putusan pengadilannya yang menjadi dasar eksekusi adalah putusan batal demi hukum.

Sebaliknya kejaksaan bersikap, selaku eksekutor tugas mereka sudah selesai dengan mengirim terpidana ke lembaga pemasyarakatan. Tapi dengan adanya putusan MK tersebut maka kewenangan pembebasan ada pada Kemenkumn HAM. Pengacara Parlin, Yusril Ihza Mahendra menilai apa yang tengah dialami kliennya tersebut merupakan bukti saling lempar tanggung jawab dari Kemenkum HAM dan kejaksaan.

Jika kedua lembaga itu taat hukum, Parlin seharusnya dibebaskan begitu MK pengeluarkan putusan tanggal 22 November 2012. Menurut Yusril, Parlin seharusnya tak bisa dieksekusi. Namun karena keburu dilakukan kejaksaan maka tanggung jawab jaksa sudah selesai dan beralih ke lembaga pemasyarakatan.

"Dan dengan adanya putusan MK lalu, maka Lapas-lah yang wajib membebaskan Parlin," kata Yusril, Selasa (12/2). Sesuai putusan MK, disebutkan bahwa putusan pemidanaan setelah putusan MK pada tanggal 22 November 2012 yang tidak mencantumkan huruf k (perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan) pada Pasal 197 tidak batal demi hukum. Namun putusan pemidanaan sebelum putusan MK tanggal 22 November 2012 tersebut tetap batal demi hukum.

Dalam putusannya, MK juga menghapuskan huruf k dari Pasal 197 ayat 1, dan menetapkan bahwa rumusan dari ayat 2 dari Pasal 197 itu tidak mencantumkan lagi huruf k. Namun sekali lagi Yusril menyatakan putusan MK tersebut tidak berlaku surut (retroaktive). Karena tak berlaku surut maka putusan pemidanaan sebelum putusan MK tanggal 22 November 2012 yang tidak memuat Pasal 197 ayat 1 huruf k adalah batal demi hukum dan tidak bisa dieksekusi.

Pendapat serupa sempat dikemukakan mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS Kemenkum HAM) Sihabudin melalui surat jawaban atas permohonan yang diajukan Yusril. Dikatakannya, putusan pengadilan yang tak mencantumkan Pasal 197 ayat 1 huruf k, sebelum putusan MK tanggal 22 November 2012, adalah putusan batal demi hukum. Hanya saja kewenangan tersebut di kembalikan kepada kejaksaaan selaku Eksekutor.

Nyatanya hingga kini Kemenkum HAM tak mau membebaskan Parlin seperti dikemukakan Wakil Menteri Hukum dan HAM. Menurut Yusril, ini berarti Kemenkum HAM telah menahan orang tanpa dasar hukum dan merampas hak azasi manusia. Atau inilah yang disebut penegak hukum yang melanggar hukum. Sementara pakar hukum Andi Hamzah menilai terpidana korban polemik Pasal 197 ayat 1 huruf k harusnya dibebaskan demi hukum.

Andi menilai kasus Parlin sejak awal dipaksakan. Pasalnya, sebelum berkasnya dinyatakan lengkap, Kejati Kalimantan Selatan dan tim Kejaksaan Agung sempat menggelar ekspose dan disimpulkan bukanlah pidana. Tapi entah kenapa Kejati Kalsel tetap melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Untuk itu, Andi meminta pimpinan kejaksaan dan Kemenkum HAM tak hanya melihat kasus hukumnya tapi juga dugaan penyimpangan aparatnya. (pra/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Buah Lindungi Suswono Soal Impor Sapi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler