APDI: Membuka Kotak Pandora SIREKAP Sebagai Saksi Bisu Kejahatan Pilpres 2024

Senin, 08 April 2024 – 10:18 WIB
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sekaligus Koordinator Pergerakan Advokat Indonesia (Perekat) Nusantara seusai diskusi bertema Membuka Kotak Pandora SIREKAP Saksi Bisu Kejahatan Pilpres 2024 yang digelar Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI) di Jakarta, Minggu (7/4). Foto: Friederich Batari/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI) terdiri dari Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB), Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Pergerakan Advokat Indonesia (Perekat) Nusantara dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) pada Minggu (7/4/2024) menggelar Diskusi Publik Ilmiah Populer bertema Membuka Kotak Pandora SIREKAP Saksi Bisu Kejahatan Pilpres 2024.

Sejumlah narasumber tampak dalam diskusi ini, yakni Dr. Ir. Leony Lidya (Pakar IT, Dosen dan Saksi Ahli Sengketa Pilpres Paslon 03), Ir. Hairul Anas Suaidi (Pakar IT, Pencipta Robot Pencatatan Data Penghitungan Suara Pemilu sekaligus Saksi Fakta Paslon 03 dan Sekjen IA-ITB).

BACA JUGA: 4 Menteri Kompak di Sidang PHPU, Bansos Tak Terkait Pilpres 2024

Pembicara berikut adalah Praktisi IT sekaligus Saksi Ahli Paslon 01 Wahyudi, Sekjen PDI Perjuangan Dr. Hasto Kristiyanto dan Pakar Telematika Dr. MRMT Roy Suryo, Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara sekaligus Praktisi Hukum Petrus Selestinus serta Aktivis Demokrasi dan Ketua KIPP Kaka Suminta.

Petrus Selestinus menjelaskan tema membuka kotak pandora sangat relevan dan menarik untuk dibedah bersama.

BACA JUGA: Polisi Dituduh Cawe-Cawe Sirekap Pemilu, AKBP Dwi Bilang Begini

Sebab, menurut Petrus, berbagai teka-teki, misteri bahkan tanda tanya banyak hal oleh publik, tidak dijawab oleh KPU, Bawaslu dan organ terkait lainnya seperti BSSN, BRIN dan ITB seputar Sistem Informasi Rekapitulasi.

“Mereka semua membisu atau tidak transparan, sementara berbagai peraturan yang ada dan menjadi landasan kerja KPU, Bawaslu, BSSN dan lain-lain semuanya menganut asas transparansi, akuntabel, kepastian hukum dan lain-lain,” ujar Petrus.

BACA JUGA: Minta KPU Terbuka soal IT Sirekap, Romo Benny: Jangan Sampai Ada Benturan

Lebih lanjut, Petrus mengatakan Prof. Dr. Arief Hidayat, hakim senior MK menyatakan bahwa Pilpres kali ini penuh hiruk pikuk, membingungkan dan berpotensi memecah anak bangsa hanya karena sikap presiden yang dinilai tidak netral.

Petrus berpandangan diskusi ini bermaksud untuk memperkat temuan dan analisis narasumber Pakar IT yang sudah bersaksi di MK oleh karena berdasarkan keahlian dan pengalaman masing-masing di bidang yang relevan dengan SIREKAP. Terutama yang bersumber dari fakta dan peristiwa yang digali dari beberapa narasumber diskusi ini.

Menurut Petrus, hasil disukusi ini akan disampaikan kepada MK sebagai bentuk partisipasi masyarakat sekaligus kontrol publik terhadap jalannya persidangan Sengketa Pilpres 2024 di MK sekaligus sebagai counter atau menanggkal terhadap keterangan Ahli dari KPU dalam sidang di MK yang dipandang sebagai keterangan menyesatkan bahkan berpotensi menjadi sumpah palsu.

Dengan demikian, kata Petrus, semua hasil yang diperoleh dari Diskusi Publik ini akan diserahkan kepada Hakim Konstitusi sebagai sumbangsih dari masyarakat agar sedapat mungkin Hakim MK dapat menggali dan mencermati suasana kebatinan masyarakat terhadap Pilpres 2024.

“Juga agar Hakim MK penuh percaya diri dan terbebas dari segala macam campur tangan kekuasaan sesuai UUD 1945,” ujar Petrus Selestinus.

Apa dan Bagaimana SIREKAP

Petrus menyebutkan posisi hukum SIREKAP KPU sebagai sebuah Teknologi Informasi Elektronik hanya diatur dengan PKPU dan Keputusan KPU.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 56 PKPU No. 25 Tahun 2023 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu dan dalam Keputusan KPU No. 66 Tahun 2024 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum Butir E angka 46, mendefinisikan bahwa SIREKAP adalah "Perangkat Aplikasi berbasis Teknologi Informasi, sebagai sarana publikasi hasil penghitungan suara dan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara serta alat bantu dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil Penghitungan Suara Hasil Pemilu.

Selain SIREKAP, PKPU juga mengatur tentang Dokumen Elektronik, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 57 PKPU No. 25 Tahun 2023 yang diadopsi dari UU No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, yaitu "setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya."

Namun Aplikasi SIREKAP KPU dan Dokumen Eleltronik ini, sama sekali tidak diatur lebih detail dalam PKPU, baik PKPU No. 25 Tahun 2023, tanggal 18 Desember 2023 maupun PKPU No.5 Tahun 2024, tanggal 12 Februari 2024.

“SIREKAP hanya disetarakan dengan sarana alat bantu seperti bangku, spidol, bolpoint dan lain-lain. Bisa kita bayangkan bagaimana sebuah Peraturan Perundang-undangan dibuat tergesa-gesa dan baru disahkan pada tanggal 13 Februari 2024, hanya 1 (satu ) hari menjelang hari pencoblosan pada tanggal 14 Februari 2024. Lalu kapan sosialisasi kepada masyarakat,” ujar Petrus.

Padahal SIREKAP sudah dirancang bahkan dikerjasamakan pembuatannya sejak 1 Oktober 2021 melalui sebuah MoU antara KPU dengan ITB, tanpa ada kejelasan bagaimana mekanisme atau metode pengadaannya yang seharusnya mengacu kepada Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Sementara SIREKAP baru naik pangkat dari sekadar MoU pada tanggal 1 Oktober 2021 kemudian mendapat legalitas di dalam PKPU Nomor 25 Tahun 2023 pada 18 Desember 2023, Keputusan KPU Nomor 66 Tahun 2024 dan PKPU Nomor 5 Tahun 2024 tanggal 15 Januari 2024 (dua hari menjelang pencoblosan), yaitu ditempatkan sebagai sarana dalam Penghitungan Suara Pemilu saat menjelang hari/tanggal Pencoblosan dan Penghitungan Suara.

Dari definisi SIREKAP KPU, menurut PKPU No.25 Tahun 2023 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum, maka SIREKAP KPU tidak semata-mata sebagai alat bantu Rekapitulasi Penghitungan Suara Hasil Pemilu sebagaimana sering didalilkan oleh KPU, malainkan SIREKAP KPU merupakan sarana utama publikasi hasil penghitungan suara dan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu.

“Artinya dalil KPU bahwa Aplikasi SIREKAP sebagai alat bantu dalam Pelaksanaan Rekapitulasi Penghitungan Suara Hasil Pemilu, terbantahkan dan merupakan suatu kebohongan publik oleh Pimpinan KPU,” tegas Petrus.

Petrus menyatakan sejumlah kelemahan yang berimplikasi hukum sebagai Perbuatan Melanggar Hukum, mulai dari Proses Pengadaan Aplikasi SIREKAP KPU hingga dituangkan dalam PKPU No. 25 Tahun 2023 dan PKPU No.5 Tahun 2024, dipastikan terdapat berbagai kelemahan SIREKAP dalam operasionalnya, dapat diinventarisasi sebagai berikut:

Pertama, KPU maupun ITB hingga kini tidak menjelaskan kepada public tentang mekanisme atau metode apa (E-purchasing, Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, Tender Cepat, dan Seleksi, yang digunakan dalam pengadaan Aplikasi SIREKAP KPU untuk Pemilu 2024.

Kedua, penggunaan Aplikasi SIREKAP KPU, diduga tidak digunakan untuk memudahkan akses publik untuk mengakses hasil suara hasil Pemilu yang sudah dihitung, melainkan digunakan oleh dan untuk kepentingan pihak ketiga atau peserta Pilpres tertentu di luar tujuan pengadaannya menurut UU.

Ketiga, Aplikasi SIREKAP KPU ternyata digunakan sebagai:

a. Sarana "publikasi" hasil penghitungan suara; 

b. Proses rekapitulasi hasil penghitungan suara; dan

c. Alat bantu dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil Penghitungan Suara Pemilu.

Kempat, SIREKAP KPU bukan semata-mata alat bantu dalam pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilu akan tetapi Aplikasi SIREKAP KPU menjadi sarana utama

Publikasi "Hasil Penghitungan Suara dan Proses Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara.

Kelima, Aplikasi SIREKAP justru menjadi penentu, sementara  Penghitungan Suara secara manual yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017, peran dan fungsinya digeser hanya untuk menjustifikasi hasil yang sudah ada di SIREKAP.

Keenam, Aplikasi SIREKAP KPU, dalam penggunaannya menimbulkan masalah, sering mati, tidak berfungsi dan tidak digunakan tanpa pertanggungjawaban.

“Hal ini patut diduga disengaja oleh oknum KPU, terlebih-lebih karena SIREKAP didesain dengan kemampuan untuk melakukan kecurangan dan itulah yang dicoba ditutup-tutupi,” ujar Petrus.

Ketujuh, kenyataannya Aplikasi SIREKAP KPU, tidak dapat digunakan untuk memperlancar Rekapitulasi Penghitungan Suara secara berjenjang oleh KPU dan mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas dengan demikian menjadi bukti telah terjadi pelanggaran secara TSM.

Kedelapan, Server SIREKAP KPU diakui KPU terhubung ke Server Alibaba Cloud di Singapura, tanpa ada kejelasan tentang mekanisme Pengadaannya dan bagaimana bentuk perjanjian kerja samanya, karena menyangkut Data Pribadi Pemilih dan Rahasia Negara Data Pemilu yang dikelola pihak asing.

Sembilan, sikap pimpinan KPU dan Pimpinan ITB masih tertutup soal pengadaan Aplikasi SIREKAP.

Petus menilai sikap KPU yang tertutup soal pengadaan Aplikasi SIREKAP tersebut bertentangan dengan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa, bertentangan dengan Prinsip Pengadaan Barang/Jasa dan Etika Pengadaan Bagang/Jasa menurut Perpres No.12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Menurut Petrus, jika SIREKAP hanya diatur dengan MoU antara KPU dan ITB, maka hal itu jelas menyalahi prosedure Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

“Ini patut dapat diduga telah terjadi Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pemilu yang kewenangan penanganannya adalah BARESKRIM POLRI, bukan  kewenangan Bawaslu,” ujar Petrus.

Bahkan di dalam persidangan tampak ada upaya dari KPU dan Paslon 02 selaku Pihak Terkait berusaha untuk menegasikan SIREKAP, dengan alasan semua Penghitungan Suara Pemilu dilakukan secara manual dan berjenjang yang menentukan.

Dengan demikian patut dapat diduga ada konspirasi politik tingkat tinggi dalam melahirkan Tindak Pidana Pemilu, bermotif Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di dalamnya, setidak-tidaknya jika benar biaya Pengadaan SIREKAP ini hanya senilai Rp. 3,5 miliar.

“Jadi, dengan angka Rp 3,5 M itu SIREKAP membunuh demokrasi dengan kerugian Rp 71,3 trilun biaya Penyelenggaraan Pemilu 2024 yang berasal dari APBN,” ujar Petrus.

Sebagai Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik, maka Pengadaan dan Pembuatan Aplikasi SIREKAP KPU tunduk pada UU No.1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, pada UU No. 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan, pada UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dan pada Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

“Sehingga dalam hal terjadi penyimpangan atau terdapat Perbuatan Melawan Hukum akibat penyalahgunaan wewenang, maka kewenangan penyidikannya berada di Bareskrim Polri, bukan Bawaslu C.q. Gakumdu,” ujar Petrus.

Petrus mengatakan pengadaan dan pembuatan Aplikasi SIREKAP KPU pada tahun 2021, hanya diatur dengan MoU.

Namun, diduga tidak dilindungi dengan landasan hukum setidak-tidaknya dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan KPU.

Sebab, nyatanya PKPU No. 25 Tahun 2023 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum, yang disahkan pada 18 Desember 2023, hanya mengatur tentang definisi SIREKAP.

Pada Pasal 1 angka 56 dan soal Dokumen Elektronik pada angka 57, tanpa uraian tentang pemanfatannya dan sanksinya apa dan sebagainya.

Kemudian PKPU No.5 Tahun 2024 baru disahkan tanggal 12 Februari 2024, dua hari menjelang pencoblosan.

SIREKAP Sebagai Instrumen Kejahatan Pilpres 2024

Petrus mengatakan secara ideal Aplikasi SIREKAP KPU memiliki fungsi yang sangat strategis dalam melahirkan "peristiwa hukum" yang sangat penting dan menentukan dalam proses "melahirkan" kepemimpinan nasional (Presiden dan Wakil Presiden RI) dari sebuah negara demokrasi, yaitu NKRI.

Sebab, seharusnya SIREKAP berada dalam sistem pengamanan yang superketat, baik secara regulasi maupun secara kelembagaan.

Namun, Petrus menyayangkan Aplikasi SIREKAP KPU hanya diatur secara sumir dengan PKPU No. 25 Tahun 2023.

Itupun hanya diatur dalam Pasal 1 angka 56 tentang definisi dengan 3 fungsi SIREKAP. Padahal seharusnya SIREKAP ini diatur dengan UU bukan dengan PP atau PKPU,” ujar Petrus.

Oleh karena itu, kesalah teknis yang muncul di lapangan sebagai suatu perencanaan (desain) terkait penggunaan SIREKAP ini agar apa yang dikatakan oleh Ahli Dr. Ir. Leony Lidya bahwa SIREKAP saksi bisu kejahatan Pemilu, dapat diungkap secara utuh ke publik guna mengisi kekurangan akibat terbatasnya waktu pemaparan Ahli di MK,” ujar Petrus.

Intinya, kata Petrus, diskusi ini harus bisa memastikan bahwa SIREKAP dididuga kuat sebagai salah satu instrumen yang disalahgunakan dalam kejahatan manipulasi penghitungan suara sekaligus dengan Iktikad buruk untuk merasionalkan kejahatan pemilu yang terjadi jauh sebelum Pemilihan Umum dan Penghitungan Suara Hasil Pemilu, ternyata benar adanya.

Padahal pemanfaatan Teknologi Informasi dan Dokuemen Elektronik menurut UU No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, adalah:

a. untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.

b. Mengembangkan Perdagangan dan Perekomian nasional dalam rangka kesejhateraan masyarakat.

c. Meningkagkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik.

d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan

e. Memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler