"Sementara di sisi lain pemerintah gagal menekan mereka untuk tunduk pada hukum di negeri ini," ucap Poltak dalam siaran persnya, Selasa (20/11), di Jakarta.
Dijelaskan Poltak ini sangat penting dan harus diwaspadai apakah proses renegoisasi dan kesepakatan yang akan diambil nantinya menyimpang atau tidak dari acuan yang seharusnya. Poltak menegaskan, kalau satu saja dari seluruh poin kesepakatan menyimpang dari Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009, maka dengan sendirinya hasil renegoisasi itu sudah menyalahi konstitusi.
"Karena bagi kami tidak ada acuan lain terhadap pelaksanaan renegoisasi kecuali UU, selaku dasar hukum tertinggi di Indonesia," ungkapnya.
Seperti diketahui bahwa ada enam hal pokok yang menjadi wajib direnegoisasi yaitu seputar royalti, divestasi saham, pembangunan pabrik pemurnian mineral (smelter), perpanjangan kontrak, penggunaan jasa dan barang dari dalam negeri, dan luas wilayah pertambangan.
Kontrak karya sendiri seharusnya berubah menjadi IUP setelah satu tahun setelah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba disahkan pada 2009.
Jadi, perubahan status Kontrak Karya Freeport seharusnya sudah berubah pada 2010, dan pada tahun itu pula pemerintah sebenarnya harus menyelesaikan renegosiasi dengan Freeport.
Sejauh ini tindakan pemerintah tersebut jelas buat para pengusaha dalam negeri merupakan tindakan yang berat sebelah dan cenderung menerapkan perbedaan terhadap sesama pelaku di dunia usaha pertambangan, terutama mineral yang menjadi wilayah dari para anggota Apemindo. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bank Agro Selektif Gelontorkan Kredit
Redaktur : Tim Redaksi