jpnn.com, BIAK NUMFOR - Tanah Papua tidak hanya memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetapi juga kaya akan bahasa daerah, seni dan budaya. Sayang, ada beberapa atraksi seni dan budaya masyarakat Papua yang mulai jarang ditampilkan. Satu di antaranya adalah atraksi masyarakat adat Biak yaitu Apen Bayeren.
Ismail, Cenderawasih Pos
BACA JUGA: Dua Pelajar di Biak Sebar Video Panas di Media Sosial
Apen Bayeren yaitu merupakan atraksi berjalan di atas batu yang dibakar pada acara barapen (bakar batu). Meski sudah jarang ditampilkan, namun Apen Bayeren masih masuk nominasi kategori sepuluh atraksi budaya terpopuler versi Anugerah Pesona Indonesia 2017.
Semakin jarangnya atraksi Apen Bayeren ini ditampilkan, tidak terlepas dari semakin kurangnya masyarakat adat Byak yang bisa memainkan atraksi ini. Dari penelusuran Cenderawasih Pos, jumlah warga yang bisa memainkan atraksi ini bisa dihitung jari dan salah satunya berada di Kampung Kampung Bosnabraidi, Distrik Yawosi, Kabupaten Biak Numfor.
BACA JUGA: Hamdalah, Biak Akhirnya Bisa Menikmati Listrik 24 Jam Setiap Hari
Di Kampung Bosnabraidi yang berjarak sekitar 42 Km arah Utara Biak ibu kota Kabupaten Biak Numfor, tinggal dua orang yang merupakan pewaris atraksi Apen Bayeran. Dua orang pewaris atraksi ini yaitu Frans Yakob Rumbrapuk atau yang akrab disapa Tete (kakek) Frans dan Korinus Arwam.
Kedua pria paro baya yang hidup bertetangga ini baru saja menampilkan atraksinya pada kegiatan Sidang Sinode GKI di Tanah Papua yang digelar di Waisai ibukota Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat beberapa bulan yang lalu. Tete Frans juga mengaku pernah menampilkan atraksi berbahaya ini di Pulau Dewata Bali.
Saat ini Tete Frans dan Korinus Arwam sedang mempersiapkan diri untuk tampil pada kegiatan Festival Biak Munara Wampasi pada 1 Juli mendatang.
Saat Cenderawasih Pos menyambangi rumah tempat tinggal Tete Frans dan Korinus Arwam, Jumat (16/6) lalu, kondisi keluarga kedua pewaris atraksi Apaen Bayeren ini cukup memprihatinkan. Keduanya tinggal di Rumsom (rumah adat Byak) yang kondisi kayunya sudah mulai lapuk.
Kehidupan keluarga Tete Frans dan Korinus Arwam juga sangat sederhana. Saat berbincang-bincang mengenai sejarah Apen Bayeren, Cenderawasih Pos didampingi Kepala Kampung Bosnabraidi, Yonas Rumbrawer dan Dance Warnares salah seorang pegawai di Dinas pariwisata Kabupaten Biak Numfor.
Berkat bantuan Yonas Rumbrawer dan Dance Warnares, Cenderawasih Pos akhirnya bisa berbincang-bincag dengan Tete Frans dan Korinus Arwam yang hanya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa daerah Byak. “Kami merupakan generasi keempat dan kelima dari keluarga kami yang melestarikan budaya ini,” ucap Tete Frans didampingi Korinus Arwam.
Atraksi Apen Bayeren ini menurut Tete Frans bermula dari adanya kegiatan atau pesta adat yang dilakukan keluarganya. Dalam kegiatan atau acara adat tersebut, nenek moyang keluarga mereka kemudian mempersiapkan barapen atau bakar batu yang merupakan ritual memasak bersama-sama warga satu kampung untuk kegiatan syukuran atau pesta adat. “Kalau sekali bikin barepen luasnya bisa 3 x 5 meter,” ungkap Tete Frans.
Menurut Tete Frans, luasnya area atau tempat barapen menyulitkan kaum pria dari leluhurnya untuk mengambil batu panas yang sudah dibakar khususnya yang berada di tengah. “Karena kesulitan ambil batu yang di tengah, saat itu leluhur kami dikenalkan dengan daun Sindia. Daun ini yang diminta dioleskan di kaki supaya tidak rasa panas, sehingga leluhur kami bisa berjalan di atas batu yang panas tanpa merasa sakit atau kaki melepuh karena panas,” ujarnya.(ismail/cenderawasih pos)
Redaktur & Reporter : Adek