jpnn.com - JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tidak ingin mengalah dalam menentukan upah minimum regional. Mereka mengancam untuk mundur dari Dewan Pengupahan Daerah (DPD) apabila Pemda tidak mengakomodasi kepentingan pengusaha.
Jika mundur dari Dewan Pengupahan, pengusaha menganggap Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak lagi mengikat.
BACA JUGA: Isyaratkan Sutan Bathoegana dan Jero Segera Ditahan
Ketua Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Apindo Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, pihaknya bakal meneruskan sikap resmi tersebut kepada seluruh perwakilan daerah Apindo.
Menurut dia, hal tersebut menjadi pilihan terakhir pihak pengusaha yang merasa tidak diakomodasi dalam penentuan upah minimum tahun depan.
BACA JUGA: Susi Beli Pulau Sevelak Hanya Rp 60 Juta
"Kami merasa proses penetapan upah minimum untuk 2015 semakin buruk. Banyak pemerintah daerah yang justru menabrak aturan dalam proses tersebut," kata Hariyadi di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, pengusaha kali ini akan bersikap realistis dan pragmatis dengan pilihan mundur dari Dewan Pengupahan.
BACA JUGA: Gerakan 1 M Pohon Dievaluasi
"Dengan langkah ini, keputusan UMK akan cacat hukum. Kemudian perusahaan tak perlu lagi mengacu ke UMK dan UMP yang ditetapkan pemerintah. Jadi, tinggal kesepakatan antara pengusaha dan pekerja di masing-masing perusahaan," ujarnya.
Saat ini, lanjut dia, keputusan pengunduran diri itu sudah diputuskan untuk dua daerah. Yakni, untuk UMK Sukabumi dan Kota Bekasi. Dua daerah tersebut dinilai tak mempedulikan aspirasi pengusaha terkait angka ideal upah dari sisi pengusaha. Justru, menurut Apindo, pengambilan keputusan seringkali dilakukan dengan terburu-buru dan secara sepihak.
Di Bekasi, kata Hariyadi, survei UMK hanya dilakukan satu kali. Rapat penentuan UMK juga hanya satu hari dengan diakhiri proses voting. "Menurut kami ini tidak adil. Karena hak suara pemerintah ada dua, sedangkan pengusaha dan serikat pekerja masing-masing hanya satu. Itu sama saja dengan keputusan sepihak dari pemerintah," terangnya.
Dalam asumsi kebutuhan hidup layak (KHL)Bekasi pun, kata dia, pemerintah dinilai sengaja mengerek beberapa poin untuk menaikkan angka tersebut. Salah satunya, kebutuhan transportasi yang naik Rp 2.000 per hari. Dengan demikian asumsi kebutuhan transportasi naik 66 persen. Padahal, tarif angkutan umum di kota Bekasi tak mengalami perubahan.
Belum lagi soal asumsi pengeluaran listrik. Pemerintah daerah setempat dinilai curang dengan menggunakan tarif listrik golongan R1 1.300 va (volt ampere). Padahal acuan listrik dalam keputusan menteri tenaga kerja harus menggunakan tarif golongan R1 900 va.
"Akhirnya, kebutuhan listrik yang seharusnya hanya Rp 50 ribu per bulan menjadi Rp 100 ribu per bulan," imbuh Ketua Dewan Pimpinan Kota Bekasi Apindo Purnomo Narmiadi.
Hariyadi melanjutkan, di Sukabumi, pihaknya terpaksa mengambil keputusan mundur dari Dewan Pengupahan karena merasa dibohongi. Sebenarnya, Sukabumi merupakan salah satu daerah yang banyak mendapatkan berkah relokasi industri beberapa tahun ini. Tapi, nyatanya tahun ini pemerintah daerah Sukabumi justru menaikkan UMK sebesar 23,8 persen.
"Karena itu, kami pun akan memberikan hukuman kepada pemerintah daerah yang kami rasa sudah bertindak tidak adil. Yakni, dengan menyatakan dua daerah tersebut tak ramah investasi. Pernyataan ini akan kami sampaikan kepada investor asing yang ingin ke Indonesia," terangnya.
Dia menegaskan, hal ini sebenarnya sangat merugikan baik masyarakat dan pemerintah Indonesia. Sebab, citra Indonesia secara keseluruhan bakal tercoreng di mata investor. Target pemerintah seperti penyerapan tenaga kerja pun bakal meleset lagi.
Dia mencontohkan, realisasi investasi pada kuartal kedua 2014 meningkat dari Rp 99 triliun menjadi Rp 112 triliun. Tapi, penyerapan tenaga kerjanya malah separuh hilang. Yakni, dari 630 ribu menjadi 350 ribu jiwa saja.
"Artinya, investasi padat karya semakin hilang. Padahal, Pak Sofyan Djalil (Menko Perekonomian) bilang masih butuh industri padat karya. Jadi, tolong tentukan sikap yang tegas," terangnya.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menanggapi santai ancaman dari Apindo. Sekjen KSPSI Subiyanto mengatakan, ancaman itu sudah berulang kali dilontarkan Apindo. Namun, nyatanya hingga kini tidak ada aksi nyata.
"Sudah dari tahun lalu mereka mengancam akan keluar dari DPD Kota Tangerang, Bekasi, dan beberapa daerah lainnya," ujarnya.
Alih-alih panik akan cacatnya hukum terkait penetapan UMP dan UMK, Subiyanto justru mengatakan, hal ini akan menjadi keuntungan tersendiri bagi para buruh dan pekerja dalam memperjuangkan haknya. Sebab, mereka cukup berjuang melawan pemerintah.
"Akan lebih mudah tentu saja. Kalau sekarang kan kita lawannya Apindo dan pemerintah. Saat Apindo keluar, jadi lebih mudah dalam memperjuangkan hak kita," urainya.
Selain itu, dia juga menjelaskan bahwa UMP atau UMK masih tetap bisa disusun meski persatuan pengusaha itu keluar dari DPD. Sebab, pada kenyataannya, saat ini banyak daerah yang bisa menetapkan UMP atau UMK mereka tanpa kehadiran Apindo dalam DPD mereka. Salah satunya adalah di Kabupaten Mimika, Papua.
"Adanya Apindo dalam DPD kan memang hak mereka. Saat Apindo tidak ada, masih ada pemerintah, perwakilan universitas, dewan pakar, dan BPS. Jadi masih bisa (menentukan UMP atau UMK)," jelasnya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai tindakan walk out Apindo ini justru akan merugikan pengusaha. Sebab, dengan mundurnya mereka dari DPD, pengusaha tidak lagi memiliki andil untuk menentukan besaran UMP atau UMK. Akibatnya, besaran bisa saja sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh Apindo sendiri.
"Itu sangat salah (mundur dari DPD). Selain itu pemerintah akan tetap menentukan UMP atau UMK meski mereka tidak ada," ungkap Timboel. (bil/mia/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kartu Sakti Jadi Titik Lemah Pemerintahan Jokowi
Redaktur : Tim Redaksi