APKASI Tak Mau Kepala Daerah Dipilih DPRD

Minggu, 07 September 2014 – 12:26 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Isran Noor menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat merupakan salah satu buah reformasi. Menurutnya, rencana mengembalikan pemilihan kepala daerah dari secara langsung menjadi oleh DPRD merupakan perampokan terhadap hak-hak politik rakyat.

"Hak politik dan kebebasan rakyat dalam pemilu khususnya Pilkada itu jangan sampai dikembalikan ke DPRD. Sebab, langkah itu sama dengan perampokan terhadap kedaulatan politik rakyat, yang telah kita perjuangkan bersama melalui gerakan reformasi 1998 silam," kata Isran kepada wartawan, di Jakarta, Minggu (7/9).

BACA JUGA: Alex Noerdin Dukung Hidayat Pimpin Golkar

Menurut Bupati Kutai Timur di Kalimantan Timur itu, kalau kepala daerah dipilih oleh DPRD maka nantinya para bupati dan wali kota hanya akan sibuk mengurusi para wakil rakyat. Sebab, kepala dserah menjadi merasa punya utang budi kepada DPRD yang telah memilihnya.

Isran menambahkan, kondisi itu pernah terjadi saat kepala daerah dipilih DPRD sebagaimana diatur UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. “Saat itu terjadi instabilitas di beberapa pemerintahan daerah, akibat semua aktifitas kepala daerah direcoki oleh DPRD. Bahkan dua hari sebelum memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ), sudah ditolak oleh DPRD, karena tidak sesuai dengan kepentingan DPRD," ungkapnya.

BACA JUGA: Berpenghasilan Rp 48,7 Juta per Hari, Menteri Tak Perlu Naik Gaji

Karenanya jika sampai DPR mengembalikan pilkada ke DPRD, maka APKASI dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Saya dan seluruh pengurus APKASI dan APPSI akan mengggugat ke MK, dan MK dipastikan akan mengabulkannya karena RUU itu telah mencederai dan merampok hak-hak politik rakyat. Itu baru proses hukum. Tapi, kalau rakyat se-Indonesia protes, demo, maka bisa lumpuh negara dan DPR ini," jelas Isran.

Ditegaskannya, argumentasi bahwa pilkada langsung berbiaya tinggi, memicu konflik horisontal dan menyuburkan politik uang hingga korupsi, hingga memicu hubungan tak harmonis antara kepala daerah dan wakilnya merupakan kesimpulan yang mengada-ada. Sebab, lanjut Isran, semua hal bisa diatur dengan regulasi yang baik.

BACA JUGA: Tank Baru dari Jerman Datang

“Apalagi tidak ada bukti bahwa korupsi, konflik sosial, money politics dan pecah kongsi itu akibat dipilih langsung oleh rakyat. Buktinya Aceh dan Sumatera Barat bisa melakukan pilkada langsung serentak pada Desember 2012 lalu, dan aman-aman saja," ujarnya.

Sebaliknya, pilkada di DPRD justru malah membuat transaksi money politics menjadi sangat terbuka. Dimulai dari membayar parpol pengusung hingga membeli suara di DPRD.

Dengan ketentuan pemenang pilkada cukup mengantiongi suara 50 persen plus satu saja, maka mudah bagi calon yang bermodal kuat untuk memenangi pilkada di DPRD. "Kalau ada 40 anggota DPRD, maka cukup membayar 21 orang," pungkasnya.

Karenanya Isran berharap pembahasan RUU Pilkada benar-benar mengacu pada prinsip-prinsip berkeadilan. Dengan demikian, calon yang punya modal besar maupun yang tidak punya modal memiliki kesempatan yang sama dalam berpolitik.

"Rakyat telah membayar pajak, taat hukum, mencintai negara. DPR jangan eleminir hak-hak politik rakyat yang lima tahun sekali itu. Kepala desa saja dipilih langsung, masak kepala daerah dipilih DPRD, padahal oleh DPRD itulah akan makin marak terjadinya politik transaksional yang lebih mahal," tuturnya.(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Transisi Pemerintahan Terganjal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler