jpnn.com, JAKARTA - Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Rahmawati Husein menyampaikan Grand Bargain yang krusial selama ini belum terasa gaungnya di tingkat nasional apalagi pada tataran akar rumput.
“Oleh karena itu, saya menyarankan kepada pemerintah, lembaga-lembaga PBB, donor, NGO, dan masyarakat sipil untuk memanfaatkan revisi ke arah Grand Bargain 2.0. Ini sebagai kesempatan untuk melakukan konsolidasi. Kita perlu menyusun suatu Grand Design nasional bidang kemanusiaan yang disepakati secara Pentahelix,” kata Rahmawati Husein dalam keterangan tertulisnya dari Aliansi Pembangunan dan Kemanusiaan Indonesia (APKI) di Jakarta, Minggu (4/7/2021).
BACA JUGA: Panen Kasus Covid-19, DPR: Jangan Berdebat dengan yang Miskin Rasa Kemanusiaan
Dia mengatakan APKI menyampaikan tanggapan awal mengenai Grand Bargain 2.0 dengan mendorong kehadiran pemerintah dari Global South seperti Indonesia, pembentukan National Reference Group yang independen, dan tetap mengejar komitmen global untuk menyalurkan setidaknya 25 persen dana kemanusiaan langsung ke pelaku lokal di garis depan.
Menurut Rahmawati, Grand Bargain 2.0 harus memosisikan sistem kemanusiaan berkaitan dengan perubahan iklim - pembangunan - pemeliharaan perdamaian pada kerangka kerja besar SDGs.
BACA JUGA: Alasan Kemanusiaan, 2 WNI Dipulangkan ke Indonesia Usai Melahirkan Anak di Malaysia
Dia menyebut APKI menegaskan Grand Bargain 2.0 harus memperluas jangkauannya kepada CSOs/LSM lokal yang walaupun mandatnya bukan kemanusiaan, namun mereka dipastikan melaksanakan respons kemanusiaan ketika terjadi bencana atau krisis.
Sementara itu, Puji Pujiono, anggota AP-KI dari SEJAJAR menjelaskan di negara-negara rawan bencana seperti Indonesia respons kemanusiaan harus menjadi suatu life skill seperti halnya P3K.
“Semua Pemda dan LSM lokal harus menguasainya dan mampu melaksanakan ketika diperlukan di mana saja dan kapan saja. Akuntabilitas sistem kemanusiaan yang vertikal ke atas juga menjadi aspek yang disoroti oleh APKI,” kata Puji Pujiono.
Sementara itu, Muhammad Ali Yusuf, anggota AP-KI dan Humanitarian Forum Indonesia, menyampaikan sudah saatnya akuntabilitas sistem dan bantuan kemanusiaan yang selama ini mengarah ke atas pada donor dan lembaga internasional diputar secara radikal menjadi akuntabilitas kepada komunitas terdampak.
Anggota APKI yang lain Maria Lauranti mengatakan dengan turut serta dalam proses Grand Bargain 2.0 diharapkan AP-KI terhadap sistem kemanusiaan menjadi lebih baik, terutama di Indonesia.
Dia menyebut LSM lokal sudah cukup berpengalaman untuk berdiri sama tinggi dengan pemerintah dan lembaga-lembaga internasional dan INGOs dalam menegakkan prinsip dan praktik baik sistem kemanusiaan.
“Grand Bargain 2.0 harus menjadi titik tolak perbaikan sistem kemanusiaan yang melalui penguatan Organisasi Masyarakat Sipil dan LSM, tidak hanya efektif tetapi juga akuntabel dan terintegrasi dengan pengurangan risiko bencana dan di bawah SDGs,” ucap Maria Lauranti.
Dia menjelaskan Aliansi Pembangunan – Kemanusiaan Indonesia (AP-KI) menyambut baik Grand Bargain 2.0 dan akan ikut serta dalam pembahasan selanjutnya tentang isu-isu utama yang berkaitan dengan pendanaan dan pelokalan pada skema kemanusiaan global ini.
Grand Bargain adalah upaya dari berbagai pihak yang dirumuskan pada KTT Kemanusiaan se-dunia di Istanbul tahun 2016.
Sejauh ini, kata dia, di dalam prakarsa di luar PBB ini terdaftar 63 penandatangan termasuk pemerintah negara, lembaga-lembaga PBB dan donor serta LSM internasional - semuanya dari belahan bumi utara.
Di dalamnya termuat kesepakatan dan tekad untuk meningkatkan efektivitas sistem kemanusiaan global, termasuk peningkatan efisiensi, pendanaan, perbaikan sistem kemitraan dan penguatan pelaku lokal.
Berdasarkan hasil kajian selama lima tahun terakhir, kata dia, pertemuan tahunan yang digelar pada 15 Juni 2021 dan 16 Juni 2021 lalu akan melakukan perombakan, terutama terkait pendanaan berkualitas dan penguatan peran pelaku kemanusiaan lokal.(fri/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich