jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE), Sonny Harsono, menyampaikan tanggapan terhadap Kementerian Perdagangan RI, yang tetap melanjutkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Menurutnya, ada tiga poin yang harus dikedepankan dalam revisi tersebut.
BACA JUGA: Tolak Revisi Permendag Soal Aturan Impor di Bawah Rp 1,5 juta, APLE Punya 4 Solusi
Pertama, mengenai dilarangnya perdagangan barang yang berada di bawah harga USD 100 yang dijual secara cross-border harus dibatalkan, karena proteksi dengan cara pelarangan dapat dikategorikan melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional sesuai kesepakatan bersama berdasarkan perjanjian World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan dunia.
Oleh karena itu bila dilanggar, Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam kancah perdagangan internasional.
BACA JUGA: PIS Gandeng Pertamina Foundation, Dukung Komitmen NZE dan Kelestarian Laut Indonesia
Menurut Sonny, kekhawatiran serupa pun sebenarnya telah disampaikan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) terhadap rencana penerapan kebijakan baru tersebut.
APLE juga menyayangkan kebijakan ini yang tidak disiapkan dengan kajian komprehensif, dan masih menggunakan pendekatan secara konvensional.
BACA JUGA: BUMN Fest 2023: Kontingen PTPN III Raih Juara 1 Seni Videografi dan Juara 2 Sepak bola
Kedua, Sonny meningatkan cross-border trading merupakan bentuk perdagangan masa depan dan telah berlaku universal dengan asas resiprokal atau timbal balik sesama negara. Saat ini, UMKM Tanah Air telah menikmati dan sangat diuntungkan sebagai merchant ekspor secara cross-border ke enam negara ASEAN.
Oleh karena itu, bila terjadi pelarangan impor ke Indonesia, maka keberlangsungan bisnis puluhan juta UMKM dengan pasar ekspor pun akan terancam.
“Sebab, ada asas resiprokal yang diterapkan oleh negara-negara lain,” ujar Sonny.
Lebih lanjut, aturan dari Kementerian Perdagangan ini juga tidak pernah membicarakan tentang sistem pengawasannya.
Kemudian poin ketiga dalam pemasukan negara, sebaiknya pajak atas barang hasil impor cross-border dinaikkan bukan dilarang tindakan impornya, karena ada pemasukan negara dari pajak triliunan setahun dari proses importasi cross-border ini dan sebenarnya telah digunakan sistem delivery duty paid (DDP) dengan menerapkan e-catalog, untuk memastikan pemenuhan pembayaran bea masuk dan pajak impor barang e-commerce.
Sistem ini pun diakui sebagai yang terbaik di Kawasan ASEAN.
Asosiasi pun mengingatkan, pembeli barang impor cross-border bukanlah market UMKM karena barang-barang tersebut tidak tersedia di dalam negeri. Pembelinya pun harus menunggu delapan sampai sepuluh hari.
Oleh karena itu, kecil kemungkinannya barang yang diperdagangkan adalah barang yang bersentuhan dengan produk UMKM.
Lazimnya, produk UMKM dapat diperoleh dengan mudah di dalam negeri.
Revisi aturan oleh pemerintah mengenai kebijakan impor ini tidak mempertimbangkan bila keran jalur resmi impor e-commerce cross-border ditutup, maka barang tersebut pasti akan diimpor secara ilegal karena tidak mungkin barang personal-use tersebut dimasukkan oleh importir karena sifatnya yang mengikuti tren dan berubah-ubah contohnya aksesoris dan lain-lain, lebih jauh banyak UMKM memanfaatkan barang ini sebagai pelengkap produksi mereka.
APLE meyakini sebenarnya yang menjadi permasalahan pokok adalah tentang meningkatkan competitive advantage agar produk-produk UMKM dalam negeri bisa bersaing.
“Namun kami menyayangkan solusi dari pemerintah berupa pelarangan yang tidak diterapkan secara menyeluruh, melainkan hanya kepada e-commerce cross-border,” tutur Sonny.
APLE juga menyayangkan kebijakan yang kurang menghargai upaya para platform cross-border import yang telah berhasil meningkatkan competitive advantage UMKM melalui export cross-border dengan berbagai inisiatif, mulai dari kampus UMKM, inkubasi, hingga bantuan desain, pemasaran, serta penjualan.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada