jpnn.com, JAKARTA - Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE), Sonny Harsono, menilai kebijakan baru Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50/2020 yang akan direvisi tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan.
Regulasi tersebut kini melarang importir menjual barang dengan nilai kurang dari USD 100 atau setara Rp 1,5 juta per unit di marketplace.
BACA JUGA: RELX Luncurkan E-Liquid Isi Ulang dengan Beragam Varian Rasa
Para pengusaha yang tergabung dalam APLE menjelaskan, proses impor cross-border ke Indonesia sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Dari sisi proses, impor dilakukan seratus persen secara digital dan terotomatisasi, terlebih bea cukai sudah mengaplikasikan e-catalog agar pendapatan negara yang berasal dari bea masuk (BM), pajak pertambahan nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh) yang besar dapat dipastikan sesuai.
BACA JUGA: Lewat Road Safety Ranger Kids, Jasa Raharja Edukasi Keselamatan Lalu Lintas Bagi Anak-Anak
"APLE berharap pemerintah tetap memberikan dukungan bagi platform belanja untuk menjalankan transaksi cross-border. Sebab, platform yang tidak melakukan transaksi cross- border justru akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM tersebut lantaran masih ada barang eks-impor di sana yang memang boleh diperjualbelikan tanpa harus memenuhi kewajiban pemberian keterangan asal barang. Tentu hal semacam ini malah merugikan negara, karena barang-barang eks-impor ini tidak dikenai pajak," ujar Sonny.
APLE pun mengajukan empat solusi terhadap persoalan ini. Pertama, pemerintah diharapkan mewajibkan platform pelaku transaksi impor cross-border untuk memfasilitasi ekspor lintas negara, dengan volume yang lebih tinggi.
BACA JUGA: Pertamina International Shipping Hadiri Sidang IMO dan Promosi ke Eropa
Pemberian insentif bagi platform yang sudah menjalankan hal tersebut juga penting. Insentif dapat diberikan melalui dukungan layanan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta instansi lain yang terkait.
Kedua, pemerintah meningkatkan besaran komponen biaya impor berupa peningkatan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 10 persen ditambah PPN 10 persen dan PPh.
Dengan demikian, harga barang impor pun tidak terlalu murah, dan barang dalam negeri bisa semakin bersaing.
Ketiga, pemerintah melakukan screening atau penyaringan terhadap e-commerce lokal yang tidak melakukan transaksi cross-border. Tujuannya, agar setiap barang yang dijual telah dilengkapi bukti importasi.
Seperti barang-barang elektronik lain dan aksesorisnya (casing serta charger ponsel), kosmetik, obat-obatan maupun suplemen dan vitamin.
"Kemungkinan besar, barang-barang yang berasal dari kegiatan impor tersebut akan sulit untuk diawasi, apakah barang yang dijual tersebut telah memenuhi formalitas kepabeanan, dengan membayar bea masuk/ pajak sesuai dengan jenis dan nilai barangnya. Sebagai dampaknya, negara kehilangan potensi pendapatan dari pajak," paparnya.
Keempat, pemerintah sebaiknya melakukan kunjungan ke “kampus-kampus” UMKM yang diprakarsai oleh platform, untuk menjelaskan secara mendalam benefit dari transaksi ekspor cross-border bagi pelaku UMKM di tanah air.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada