Warga Aborigin lansia di kawasan Northern Territory berusaha menyelamatkan bahasa asli mereka dengan menggunakan aplikasi telepon pintar dan peranti lunak crowdsourcing.
BACA JUGA: Korban KDRT Terima Penghargaan Tokoh Victoria 2015
Diperkirakan saat ini hanya kurang dari 100 orang warga Aborigin di Northern Territory yang mampu berbahasa Marrithiyel, bahasa asli bangsa Aborigin yang merupakan bagian dari kelompok bahasa Tyikim dan merupakan bahasa yang dituturkan mayoritas warga di Tenggara Darwin.
Ibunda Dr Ford – penutur Bahasa Marrithiyel – meninggal pada tahun 2007 lalu dan memintanya untuk menjaga bahasa-bahasa Tyikim.
"Itu merupakan salah satu bahasa yang diajarkan sejak kami lahir, bahkan mungkin sebelum kami lahir, karena orang tua kami sering menyanyikan lagu dalam bahasa tersebut untuk bayi yang tengah dikandungnya,” kata salah peneliti di Universitas Charles Darwin.
"Salah satu hal yang diperintahkan oleh ibu saya adalah agar saudara kandung saya memastikan bahasa dan kebudayaan kami terjaga baik pada tingkat penguasaan yang sudah diajarkannya kepada kami sebelum dia wafat, dan tidak hanya demi kepentingan warga Tyikim tapi juga semua orang, terutama warga Australia, sehingga mereka mengenal bahasa dan kebudayaan yang pernah ada di negara ini,” tuturnya.
Aplikasi bantu bahasa pribumi lain Salah satu rekan yang membantu Dr. Ford mengembangkan aplikasi bagi penutur bahasa Tyikim adalah pakar bahasa dari Universitas Nasional Australia, Bruce Birch. Ia telah menghabiskan waktu lebih dari satu dekade untuk mendokumentasikan bahasa yang terancam punah di kawasan Barat Arnhem Land.
"Saya ketika itu tengah memberikan pelatihan di Portugal lima pekan lalu, dan tengah mengujicoba sistem aplikasi ini di Kamerun, dan kami juga pernah mengaplikasikan pada bahasa di Papua Nugini,”
“Ide aplikasi ini adalah bagaimana orang-orang yang tinggal didaerah pelosok bisa terlibat dalam proses pendokumentasian bahasa ini, tanpa harus mendatangkan spesialis ke sana,” tambahnya.
Tim proyek ini belum lama ini pergi ke Belyuen dan kawasan disekitarnya untuk merekam percakapan warga lansia dan mencoba teknologi ini. Mereka ikut ambil bagian dalam kegiatan berburu angsa dan kura-kura, dan ini juga menjadi subjek dari cerita yang mereka rekam.
Generasi hilang bisa pelajari kembali bahasa yang dilupakan Yvonne Goim Gam dan Yilngi Atie – keduanya lahir pada tahun 60-an dan merupakan penutur bahasa Marrithiyel – mereka ingin memastikan cucunya juga bisa berbicara dalam bahasa Marrithiyel.
"Bahasa itu bisa punah, karenanya kami harus mengajarkan kepada cucu kami selagi kami masih hidup,” katanya. Data Statistik memperkirakan ada lebih dari 500 dialek dan 230 bahasa daerah yang digunakan oleh warga pribumi Australia ketika era pemukiman warga Eropa dimulai. Namun Institut Kajian Aborigin dan Torres Strait Islander Australia mencatat saat ini hanya tersisa 120 bahasa saja yang masih ada, dan dari jumlah itu hanya 13 bahasa saja yang tergolong masih banyak penuturnya. Sementara 100 bahasa lain berstatus terancam punah. Dr Ford berharap proyek bahasa ini akan menjadi sumber yang bisa dimanfaatkan oleh generasi warga Aborigin sekarang ini untuk mempelajari kembali bahasa asli mereka.
BACA JUGA: Kini Alzheimer Bisa Dideteksi Lewat Tes Darah Sederhana
BACA JUGA: Dulu, Gladiator Romawi Konsumsi Minuman Berenergi dari Cuka dan Abu
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Mitra Dagang Terbesar Tasmania, Presiden China akan Kunjungi Hobart