jpnn.com - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) memastikan tidak terlibat dalam aksi unjuk rasa yang menuding ketidakberpihakan di Monas, Jakarta Pusat, Selasa (16/10). Pengurus DPP APTRI Sunardi Edy Sukamto menuduh Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia yang melakukan aksi itu.
Menurut Sunardi, ada pihak yang sengaja mengambil keuntungan dari aksi tersebut. Sebab, untuk masalah pergulaan, para petani sudah menjual gulanya kepada Bulog.
BACA JUGA: Para Santri Bakal Sarungan di Monas
"Kalau kami konsisten dengan keputusan pemerintah dalam rapat koordinasi terbatas Kemenko Perekonomian, Mendag, dan Menteri BUMN dengan harga Rp 9.700 per kilogram netto diterima petani. Dan Bulog tetap konsisten," kata dia dalam keterangan yang diterima.
Sunardi menjelaskan, gula petani telah dibeli oleh Bulog atas penugasan dari pemerintah. Edi mengatakan, gula petani sebagian telah terserap oleh pedagang sebelum penugasan Bulog.
BACA JUGA: Umat Islam Dilarang Merayakan Malam Takbiran di Monas
“Kok ada tuntutan ganti Mendag segala? Kepentingannya apa? Silakan masyarakat nilai sendiri demo itu," jelas dia.
Edi menyadari ada beberapa proses pembayaran yang kurang lancar. Hal itu disebabkan proses administrasi dan ketersediaan dana mengingat kebutuhan pembelian gula mencapai Rp 1,2 triliun.
Namun demikian, lanjut dia, adalah hal aneh ketika gula sudah dibeli namun ada pihak yang menginginkan harga dinaikkan. "Ketika petani sudah billing (penagihan), gula sudah dibeli Bulog, dan gula produsen dibeli pedagang dan gula ada ditangan pedagang, lalu ada demo minta harga jadi tinggi. Jadi yang menikmati keuntungan jelas bukan petani," tuturnya.
BACA JUGA: Anies Sambut PM India di Monas
Dia menjelaskan, gula petani di bawah perusahaan gula non-BUMN atau swasta juga sebagian besar telah diserap oleh pedagang dan gula dikuasai pedagang. Edi menduga ada pihak-pihak lain yang ingin mengeruk keuntungan jika harga dinaikkan.
"Kami tidak ingin aksi tersebut hanya di manfaatkan pihak lain yang mengatasnamakan petani. Kami tegaskan aksi tersebut bukanlah tuntutan dan tanggungjawab kami. Karena jika harga naik, yang menikmati bukan petani, bukan BUMN dalam hal ini PTPN, jadi kepentingan kami apa?" tanya dia.
Sementara itu, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan kebutuhan konsumsi gula secara nasional ternyata belum tercukupi oleh produksi dalam negeri ditambah dengan impor yang telah dilakukan oleh pemerintah.
"Dari riset yang dilakukan untuk gula, statistiknya memang agak ganjil karena konsumsinya lebih tinggi dari produksi ditambah dengan impor gula," ujar Kepala Bidang Penelitian di CIPS Hizkia Respatiadi.
Jika dilihat dari data tersebut, artinya ada suplai yang tidak tercacat untuk pemenuhan konsumsi gula di pasaran. Ada kemungkinan, jumlah kebutuhan itu tertutup dari stok gula rafinasi yang diperuntukkan bagi industri makanan.
Menurutnya, hal itu sesuai dengan data bahwa terjadi kebocoran gula rafinasi sekitar 300 juta ton setiap tahunnya yang diduga lari ke pasar konsumen. Adapun sebagian besar gula rafinasi didapat dari impor. Selain itu, jika dilihat sulit dibedakan antara gula konsumsi dengan gula rafinasi.
"Artinya ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, dimana konsumen masih membutuhkan gula, tapi di pasar tidak ada, akhirnya yang mengisi gula rafinasi yang seharusnya tidak dijual kepasaran konsumen," pungkas Hizkia. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Sembako Maut di Monas, Sejauh Ini Hasilnya
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga