Artidjo Alkostar Pernah Diancam Didor Penembak Misterius

Minggu, 27 Mei 2018 – 00:05 WIB
Artidjo Alkostar saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kantornya Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (25/5/18). FOTO : FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS

jpnn.com - Artidjo Alkostar pensiun sebagai hakim agung. Setelah itu, dia berencana menghabiskan waktu di tiga kota: Jogjakarta, Situbondo, dan Sumenep. Menurut dia, jadi hakim itu, bermimpi mendapat hadiah saja tak boleh.

SAHRUL YUNIZAR, Jakarta
IMAM S. ARIZAL, Sumenep

BACA JUGA: Artidjo Pensiun setelah 18 Tahun di MA, Begini Kesannya

MENGEMBANG senyum Bagir Manan. Melihat Artidjo sibuk melayani awak media, mantan ketua Mahkamah Agung (MA) itu lantas berkelakar. ”Biasanya hakim agung nunggu ketua MA. Ini ketua MA nunggu hakim agung,” ucap dia, lantas tertawa kecil.

Bagir adalah salah seorang yang dekat dengan Artidjo. Maklum, dia merupakan pimpinan Artidjo ketika mengawali tugas sebagai hakim agung.

BACA JUGA: Jelang Pensiun, Tujuh Pati TNI AL Bertemu Kasal

Dalam wawancara kemarin, Artidjo juga sempat menyinggung nama Bagir. ”Jadi, saya ini angkatan Pak Bagir Manan yang terakhir. Yang lainnya sudah pensiun semua,” kata dia.

Dalam buku Titisan Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan yang diterbitkan MA khusus untuk menghormati jasa Artidjo, nama Bagir turut hadir. Dia menyisipkan kesannya terhadap sosok Artidjo. Tidak panjang. Tapi, cukup.

BACA JUGA: Hari Ini Jenderal Budi Gunawan Resmi Pensiun

Menurut Bagir, Artidjo punya modal yang tidak dimiliki banyak hakim agung lainnya. Yakni, pengalaman sebagai praktisi dan teoretisi. Keduanya diperoleh Artidjo sebelum bertugas di MA. ”Menurut saya, penggabungan dua keahlian tersebut merupakan modal yang sangat bagus untuk seorang hakim agung,” kata Bagir dalam buku tersebut.

Masih dalam buku yang sama, Bagir mengungkapkan bahwa Artidjo di matanya merupakan sosok yang baik dan serius dalam bekerja. Dia juga mengenal pria kelahiran 1948 itu sebagai sosok yang tidak pernah menunda pekerjaan.

Soal urusan hukum pidana, Bagir juga tidak pernah segan berdiskusi dengan Artidjo. ”Karena menurut saya, tentang hal itu, beliau lebih paham dari saya,” ungkap Bagir.

Bukan hanya itu. Bagir mengenal Artidjo sebagai sosok yang tidak banyak bicara. Termasuk kepada media. Baik di media cetak maupun media elektronik. Menurut Bagir, itu memang suatu keharusan bagi seoarang hakim.

Sebab, banyak bicara bisa jadi malah menjurus pada pelanggaran kode etik. ”Pak Artidjo memiliki standar seperti itu, dirinya sangat displin tentang kode etik,” papar Bagir. Artidjo pun tidak menampik ketika ditanya soal hal tersebut.

Pascagenap berusia 70 tahun 22 Mei lalu, Artidjo menjadi buruan awak media. Namun, baru Jumat hakim kelahiran Situbondo itu bersedia bertatap muka dengan awak media. Dalam kesempatan tersebut, sedikit banyak Artidjo membuka perjalanan hidupnya.

Termasuk pengalaman selama bertugas di MA. Adalah perkara Presiden Soeharto yang paling membekas di kepala alumnus Universitas Islam Indonesia tersebut.

Kala menangani perkara itu, Artidjo belum lama bertugas di MA. Dia ingat betul perkara tersebut ditangani bersama Syafiuddin Kartasasmita sebagai ketua majelis dan Sunu Wahadi sebagai anggota majelis.

Bukan sebatas tertanam kuat dalam kepalanya, perkara itu juga istimewa bagi Artidjo. Meski, semua perkara sama saja di mata suami Sri Widyaningsih tersebut. ”Setelah mengadili Presiden Soeharto itu, perkara yang lain-lain itu kecil aja,” kata dia.

Ucapan tersebut dibuktikan Artidjo lewat ketokan palu dalam setiap persidangan selanjutnya. Beberapa nama besar pernah merasakan bagaimana tegasnya Artidjo dalam memutus perkara. Khususnya perkara menyangkut kasus korupsi.

Mulai Artalyta Suryani, Irawady Joenoes, Urip Tri Gunawan, Gayus Tambunan, Lutfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Djoko Susilo, Akil Mochtar, sampai O.C. Kaligis.

Meski sering berhadapan dengan orang besar, Artidjo tidak pernah gentar. Tentu dia sadar dengan risiko atas sikap tersebut. Salah satunya ancaman dan gangguan. Pernah, kata dia, sebelum bertugas di MA, dia dikejar untuk dibunuh.

Itu terjadi di Dili, Timor Timur, pada 1992. ”Pernah mau dibunuh saya jam 12 malam. Tapi, Allah melindungi saya yang didatangi oleh ’ninja’ itu,” kenangnya.

Saat menjadi pembela dalam kasus pembunuhan misterius, sambung Artidjo, dirinya juga pernah diancam ditembak oleh penembak misterius. ”Tentu itu tidak saya hiraukan,” imbuhnya. (*/c10/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pensiun, Popon Ingin Meneruskan Karier sebagai Pelatih


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler