Artidjo Pensiun setelah 18 Tahun di MA, Begini Kesannya

Jumat, 25 Mei 2018 – 21:45 WIB
Mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar dalam jumpa pers di MA, Jumat (25/5). Foto: Fedrik Tarigan/Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - Hakim agung Artidjo Alkostar terhitung sejak Selasa lalu (22/5) telah memasuki masa pensiun. Pengadil kelahiran 22 Mei 1949 itu mengakhiri jabatannya sebagai hakim setelah berkarier selama 18 tahun di Mahkamah Agung (MA).

Mengacu Undang-undang MA maka ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim di lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu diberhentikan secara hormat dari jabatannya oleh presiden setelah berusia 70 tahun. Selama berkarier di MA, Artidjo mengaku telah memutus 19.708 perkara.

BACA JUGA: 20 Tahun Reformasi, Kang Hasan Puji Jasa BJ Habibie

Namun, mantan ketua Kamar Pidana MA itu mencatat hanya satu perkara yang menurutnya rumit untuk diselesaikan. Yakni perkara dugaan korupsi Presiden Soeharto.

"Saya kira semua perkara sama. Tapi waktu awal saya menjadi hakim agung tahun 2000-an, saya pernah menangani perkara Presiden Soeharto," kata Artidjo di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (25/5).

BACA JUGA: Survei Indo Barometer: Soeharto Presiden Paling Berhasil

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu menjelaskan, ketua majelis hakim yang menangani perkara Presiden Soeharto adalah Syafiuddin Kartasasmita. Sedangkan Artidjo adalah anggota majelis hakim perkara penguasa Orde Baru itu.

Nahas, Syafiuddin tewas ditembak oleh suruhan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. "Saya menjadi salah satu anggotanya dan waktu keputusan yuridis tetap diadili," tutur Artidjo.

BACA JUGA: Bupati Cantik Berkomitmen Bantu Instansi Lain Terapkan PTSP

Oleh karena itu, Artidjo menyebut perkara tersebut terbilang rumit karena tercampur opini publik. Dia pun merasa tidak ada lagi perkara besar dan rumit yang pernah ia selain kasus korupsi Soeharto.

"Jadi, tetap selama saya mengadili, perkara yang rumit (adalah) perkara Presiden Soeharto. Yang lain-lain itu kecil aja," jelasnya.

Pria berdarah Madura itu juga mengaku tak luput dari ancaman selama berkiprah di MA. Namun, Artidjo bergeming tanpa ciut nyali.

"Kalau mengancam saya itu salah alamat. Pertama, saya sejak menjadi advokat tidak punya kekuasaan. Tidak pernah takut gitu, tidak pernah," kata tegasnya.

Ancaman pembunuhan sudah dialami Artidjo jauh sebelum jadi hakim agung. Dia mengaku pernah diancam dibunuh ketika sedang berada di Dili, Timor Timur yang kala itu masih menjadi bagian dari Indonesia.

"Pernah mau dibunuh saya jam 12 malam. Tapi, Allah masih melindungi saya," tutur Artidjo.

Pihak yang mengancam Artidjo kala itu memintanya tak usah berlagak pahlawan. Sebab, pria asal Asem Bagus, Situbondo, Jawa Timur itu memang getol mengadvokasi kasus-kasus pembunuhan misterius.

Menurut Artidjo, nyalinya sudah terasah sejak belia. Dia kerap bergelut dan berlatih bela diri.

"Jadi memang background saya tidak memungkinkan saya diancam. Sejak kecil saya sudah menjadi joki karapan sapi, berkelahi gulat dan silat. Jadi tidak memungkinkan. Darah Madura saya tidak memungkinkan untuk menjadi takut sama orang," jelasnya.(ce1/rdw/JPC)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... MA Pindahkan Hakim Praperadilan Kasus Century ke Jambi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler