jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Ritel Vape Indonesia (ARVINDO) meminta pemerintah memberikan perlindungan terhadap industri vape lokal, khususnya pada segmen open system, yang dinilai makin tertekan akibat kebijakan fiskal dan maraknya peredaran produk ilegal.
ARVINDO menilai kondisi ini mengancam kelangsungan usaha ribuan pelaku industri dalam negeri. Menurut data ARVINDO, lebih dari 150 toko vape lokal tutup setiap tahun akibat tekanan ekonomi dan persaingan tidak sehat dari produk vape ilegal.
BACA JUGA: Arvindo Berkomitmen Memajukan UMKM dalam Deklarasi Satu Tahun
Industri ini menyerap lebih dari 50.000 tenaga kerja di Indonesia, mulai dari ritel, manufaktur liquid, hingga layanan teknis. Produk ilegal yang dijual tanpa cukai dan di bawah harga pasar dinilai menjadi salah satu pemicu utama anjloknya pasar legal.
"Segmen open system adalah tulang punggung industri lokal. Jika tidak dilindungi, dominasi pelaku lokal bisa tergeser oleh produk impor dan korporasi besar,” ujar Humas ARVINDO, Febri Black, Humas ARVINDO, dalam keterangannya, Selasa (15/4).
BACA JUGA: Vape Diisukan Menyebabkan Popcorn Lung, Ketua ARVINDO Angkat Bicara
Dia menegaskan, regulasi yang diterapkan saat ini belum membedakan karakter antara open system dan closed system.
ARVINDO menyoroti bahwa segmen closed system, terutama produk sekali pakai impor, memiliki model bisnis berbeda dan seharusnya dikenai kebijakan cukai tersendiri. Tanpa adanya diferensiasi aturan, pelaku usaha lokal dinilai akan kalah dalam persaingan yang tidak setara.
BACA JUGA: Mulai Bulan Depan, Vape Jadi Barang Haram di Vietnam
Oleh karena itu, ARVINDO mengusulkan agar kebijakan fiskal dan regulasi disusun secara adil, proporsional, dan melibatkan asosiasi pelaku usaha.
“Kami tidak minta perlakuan khusus, tapi keadilan. Dengan kebijakan yang tepat, industri vape nasional bisa terus bertahan dan berkontribusi terhadap ekonomi nasional,” tegas Febri.
Dia juga menekankan bahwa jika pemerintah tidak segera bertindak, industri ini berisiko jatuh ke tangan asing.
“Kami ingin tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Ini bukan sekadar bisnis, tapi soal kedaulatan ekonomi,” pungkasnya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh