jpnn.com - Orang pun mencibir: beli ikan arwana kok sampai Rp 6 triliun.
Saya tidak akan menyalahkan arwana. Juga tidak akan menyalahkan yang mencibir.
BACA JUGA: Mahfud MD Ingatkan Kasus Jiwasraya dan Asabri Ranah Pidana, Bukan Perdata
Yang lucu adalah: Tukul, ups, bukan. Inilah yang aneh: mengapa baru tahun itu Jiwasraya membeli saham perusahaan arwana. Yang nilai transaksinya sampai Rp 6 T itu.
Terlihat sekali bahwa pembeli saham itu tidak memelihara arwana di rumahnya. Jangan-jangan juga belum pernah melihat wujud arwana itu seperti apa.
BACA JUGA: Beginilah TVRI
Padahal sudah sepuluh tahun lamanya demam arwana menurun. Seolah ikut menandai kematian arwana di akuarium besar di lobi kantor saya.
Kejayaan arwana sendiri terjadi antara tahun 1980 sampai 2005. Pada era itulah Heru Hidayat mulai menjadikan arwana sebagai bisnis.
BACA JUGA: Nasib Benny
Di zaman itulah HaHa membeli kolam-kolam pembiakan ikan arwana. Di Kalimantan Barat. Di pinggir sungai Kapuas. Lokasi kolam-kolam itu di sekitar kota Pontianak.
Di situ HaHa memiliki 17 kolam. Di empat lokasi yang agak berjauhan. Total luas nya sekitar 50 hektare.
Saya juga punya teman yang memiliki usaha pembiakan arwana. Di Pontianak. Bahkan seorang redaktur saya merangkap menjadi pembiak arwana di rumahnya.
"Hasilnya lumayan. Lebih besar dari gaji wartawan," katanya kala itu.
Saya pernah sekali ke rumahnya --untuk melihat arwana di kotak-kotak plastik yang dijejer di emperan rumahnya.
Itu dulu.
Sudah lama sekali.
Setelah itu orang mulai bosan dengan arwana. Mungkin orang menjadi lebih suka membeli.... polis asuransi saja.
Saat ini arwana umur tiga bulan tidak lagi bisa laku Rp 1 juta. Padahal, di zaman jayanya dulu bisa mencapai Rp 3 juta.
Maka sebenarnya tidak salah ada pengusaha yang membuat perusahaan arwana. Lokasinya pun sudah benar: di Kalbar.
Hanya di situlah arwana hidup. Yakni jenis arwana termahal di dunia: arwana merah.
Pun yang warna perak banyak juga terdapat di Kapuas. Dengan harga setengahnya.
Kalbar hanya bersaing dengan Vietnam dan Kamboja.
Yang saya pelihara di akuarium lobi kantor itu adalah yang warna perak. Sejak umur tiga bulan juga. Sampai umur enam tahun. Saya suka terhibur melihat geraknya yang kalem, tetapi penuh wibawa. Sampai ada wartawan saya yang berseloroh: wartawan yang tulisannya jelek akan dijadikan makanan arwana.
Redaktur saya yang di Pontianak itu juga sudah tidak membiakkan arwana lagi. Ia sudah meninggal dunia.
Tidak mudah membiakkan arwana --mungkin karena itu HaHa memilih lebih bersemangat membiakkan sahamnya.
Sesukses-sukses jualan anak arwana tidak akan bisa laku Rp 6 triliun. Jualan saham arwana hanya perlu sedetik untuk klik. Langsung bisa laku Rp 6 triliun.
Padahal untuk membiakkan arwana perlu menunggu indukannya bertelur. Lalu sang induk menaruh telur itu di mulutnyi. Sampai menetas di situ.
Arwana yang sudah menetas tidak langsung dilepas ke air bebas. Tetap disimpan dulu di mulut sang ibu. Menunggu dulu sampai si janin mampu berenang gesit. Tujuannya: agar begitu keluar dari mulut sang ibu bisa langsung lari kencang --menjauhi pemangsa. Bayi ikan arwana memang sasaran yang empuk untuk dimakan ikan lainnya.
Di mulut sang ibu itu bisa hidup 30 sampai 90 janin arwana. Kalau tidak percaya tanyalah Tukul bin Arwana. Pasti ia juga tidak tahu.
Maka orang seperti HaHa harus tahu: kapan sang induk sudah waktunya membuka mulut. Lalu memindahkan sang induk ke kolam khusus --agar membuka mulut di situ.
Kadang sang induk tidak mau membuka mulut --untuk melindungi janin anak-anaknyi. Maka petugas kolamlah yang akan mengocok-ngocok mulut induk arwana itu.
Di bursa saham tidak perlu berurusan dengan mulut arwana. Hanya mata yang harus jeli: kapan pengawasan OJK lagi lemah. Kapan pula pengawasan publik lagi minim.
Orang seperti HaHa jeli: saat menjelang pilpres adalah waktu yang paling tepat.
Pada waktu seperti itu perhatian publik lagi ke pilpres. Perhatian DPR juga lagi ke RUU mana yang harus dikejar untuk disahkan.
Masak sih hanya Carlos Ghosn yang tahu kapan saat yang tepat untuk berbuat sesuatu. Agar bisa lari dari tahanan di Jepang dengan dramatik.
HaHa --demikian juga Benny (Bentjok) Tjokrosaputra-- pasti tidak kalah cerdik dari mantan CEO Nissan-Renault-Mitsubishi itu.
Coba pikir, mana yang langkahnya lebih dramatik? Ghosn atau Bentjok dan HaHa? (*)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi