Mantan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa mengatakan bahwa Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) seharusnya merumuskan peta jalan bagi penyelesaian masalah yang dihadapi warga Rohingya di Myanmar, dalam KTT yang akan diselenggarakan di Manila 9-14 November mendatang.
Marty menyampaikan hal tersebut hari Kamis (2/11/2017) di Melbourne dalam percakapan dengan wartawan Australian Financial Review (AFR) Laura Tingle dalam rangkaian kuliah yang diselenggarakan Centre for Policy Development (CPD) di Perpustakaan Nasional Victoria.
BACA JUGA: Salju Turun di Tasmania Setelah Rekor Oktober Paling Hangat
Marty hadir membawakan kuliah bertopik Can Democracy Deliver (Apakah Demokrasi Bisa Berjalan), dengan pengantar yang disampaikan oleh Mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans.
Setelah ceramah, Marty kemudian terlibat dalam sesi tanya jawab dengan Laura Tingle dan mendapat beberapa pertanyan seputar pengalamannya sebagai Menlu RI antara tahun 2009-2014 di bawah Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
BACA JUGA: Pameran Perhiasan Berlian Cartier di Canberra
Minggu depan, para pemimpin ASEAN akan bertemu di Manila dalam KTT yang sekaligus merayakan 50 tahun keberadaan perhimpunan tersebut.
Menjawab pertanyaan Laura Tingle mengenai langkah yang perlu dilakukan ASEAN atas masalah pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh dalam dua bulan terakhir, Marty mengatakan akan terlihat aneh di Manila bila para pemimpin ASEAN berkumpul merayakan keberadaan perhimpunan mereka namun tidak memberikan solusi mengenai masalah Rohingya.
BACA JUGA: Pria Australia Didakwa Atas Pembunuhan Anggota Khmer Merah Kamboja
"ASEAN harus menunjukkan bahwa perkumpulan ini masih relevan. Mungkin sudah sedikit terlambat, namun para pemimpin ASEAN harus berusaha mencapai paling sedikit peta jalan (road map) untuk menyelesaikan masalah Rohingya di Myanmmar," kata Marty.
"Kalau tidak, pertemuan itu akan terasa aneh. Sekarang ini ada kesunyian yang memekakkan (deafening silence) dari ASEAN," tambahnya lagi.
Sekitar 600 ribu pengungsi asal Rohingya saat ini berada di Bangladesh karena karena merasa keselamatan mereka terancam di Myanmar. Marty Natalegawa dalam sesi tanya jawab dengan Laura Tingle dari AFR.
Photo: ABC News Sastra Wijaya
Ketika ditanya apa yang akan dilakukannya bila dia masih menjadi Menlu Indonesia, Marty Natalegawa mengatakan bahwa dia akan berada di Myanmar untuk mendengarkan apa yang terjadi dari sumber pertama, Pemerintah Myanmar dan pihak-pihak lainnya.
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi hari Kamis untuk pertamakalinya sejak pengungsian dimulai dua bulan lalu mengunjungi Rakhine untuk melihat situasi sebenarnya di sana.
Marty Natalegawa yang juga pernah menjad Dubes RI untuk Inggris Raya mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di ASEAN harus mengambil tanggung jawab lebih besar dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi di ASEAN.
Dalam perjalanannya selama 50 tahun terakhir, Indonesia sudah mengambil peran penting tersebut di tahun 2002 menurut Marty, ketika Indonesia mengatakan bahwa pentingnya masalah demokrasi, hak asasi manusia dan tata pemerintahan yang baik juga dilakukan oleh semua negara ASEAN.
"Ketika itu, beberapa negara ASEAN lainya agak sinis dengan pendekatan yang disampaikan oleh Indonesia. Bahkan di dalam Indonesia sendiri banyak kritikan bahwa kami sendiri belum menyelesaikan masalah tersebut di dalam negeri," kata Marty.
Namun apa yang dilakukan Indonesia menurutnya telah membawa ASEAN menjadi lebih terbuka, dan bila melihat ke belakang selama 50 tahun terakhir, ASEAN sudah mencapai banyak hal.
"Dibandingkan misalnya dengan Afrika atau Timur Tengah, ASEAN sekarang dalam situasi yang bagus dimana sudah ada saling kepercayaan di antara negara anggota. Dulu 50 tahun, negara-negara ASEAN terlibat perang dan dalam keadaan saling mencurigai," kata Marty lagi.Demokrasi harus terus dipupuk
Sementara itu dalam kuliahnya sebagai bagian dari Orasi John Menadue, Marty Natalegawa diperkenalkan sebagai seorang tokoh yang sudah memiliki banyak pengalaman internasional dalam kapasitasnya di masa lalu bekerja untuk Indonesia sebagai menteri dan juga keterlibatannya di PBB setelah tidak lagi menjabat.
Dalam pidato pengantarnya mantan Menlu Australia Gareth Evans mengatakan sudah waktunya Australia mendengarkan pandangan dari pihak luar dan Marty memiliki kapasitas lebih dari cukup untuk memberikan pandangan dari negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, yaitu Indonesia.
Secara garis besar, Marty yang menyelesikan pendidikan doktoralnya dari Australian National University di Canberra mengatakan demokrasi bisa membuahkan hasil bila para pemimpin mau mendengarkan.
Dikatakannya juga bahwa demokrasi adalah sebuah proses sehingga dia tidak bisa berfungsi dalam sebuah kevakuman.
"Demokrasi yang sudah ada harus terus diperjuangkan. Kita tidak boleh lengah, karena ada saja kemungkinan demokrasi itu akan mengalami kemunduran, dan juga kehilangan momentum bila tidak terus-menerus diperjuangkan," kata Marty.
Oleh karena itu para pemimpin, menurutnya, harus mendapatkan kepercayaan lebih besar dari publik bila mereka lebih mendengarkan.
Orasi Marty Natalegawa ini merupakan inistiatif dari Centre for Policy Development, sebuah lembaga pemiikir independen di Australia yang didirikan tahun 2007 untuk memperbincangkan kebijakan-kebiajakn jangka panjang yang berguna bagi Australia, dan bukannya memfokuskan diri pada masalah-masalah jangka pendek. Marty Natalegawa (tengah) dan istrinya bersama dengan mantan Menlu Australia Gareth Evans
Photo: Sastra Wijjaya, ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Puluhan Ribu Data Pribadi Warga Australia Tersebar