jpnn.com - JAKARTA - Desakan pembenahan pelabuhan Tanjung Priok terus bermunculan. Kali ini datang dari para pelaku di industri kepelabuhan, supply chain, dan logistik.
Pembenahan yang bisa dilakukan salah satunya dengan mengembalikan dan penguatan peran dan fungsi Otoritas Pelabuhan sebagai regulator yang selama ini terkesan terabaikan.
BACA JUGA: Pliss...Jangan Lagi Bilang Ini Wajar
Zaldy Ilham Masita, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia, mengatakan, desakan ini tak berlebihan mengingat selama ini Otoritas Pelabuhan (OP) selalu kalah pamor dibandingkan Pelindo sebagai operator di pelabuhan. Akibat yang paling dirasakan adalah masih tingginyadwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.
"Akibat lainnya, banyaknya kebijakan di pelabuhan yang tanpa melibatkan OP sehingga sangat merugikan dan membebani biaya operasional para pelaku di industri kepelabuhan, supply chain dan logistik," ujar Zaldy Ilham Masita, Minggu (26/7).
BACA JUGA: Capek deh...Reshuffle tak Jelas, Rupiah Kian Lemas
Dia menegaskan bahwa penguatan OP wajib dilakukan karena selama ini posisi OP lemah dibandingkan dengan Pelindo dan lembaga lain. Banyak program kerja untuk menurunkan dwelling time sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun tidak berjalan sesuai harapan.
Hal ini pula yang menyebabkan dwelling time menjadi masalah klasik yang tak kunjung bisa dituntaskan. Fakta bahwa sejak SBY menjadi presiden selama dua periode, Menko sudah berganti 3 kali, Mendag berganti 3 kali, Kepala Bea Cukai juga berganti 3 kali.
BACA JUGA: Luncurkan Pertalite, PKS Tuding Pertamina Hindari Kritik DPR
"Bahkan Otoritas Pelabuhan yang juga berganti 3 kali, ternyata semua tak mampu menuntaskan masalahdwelling time. Kita butuh single authority di pelabuhan. Karena itu, OP harus diberi wewenang agar bisa menjalankan amanat UU Perlayaran sebagai regulator. Tanpa ada penguatan OP, program menurunkan dwelling time tidak akan berjalan dengan baik,” ujarnya.
Dikatakan, otoritas tunggal ini harus bisa mengatur semua lembaga yang berhubungan dengan pelabuhan serta bertanggung jawab terhadap kelancaran arus barang di pelabuhan. Sedangkan lembaga lain harus di-BKO-kan di bawah pengawasan OP sesuai dengan fungsinya.
“Penguatan OP ini termasuk dengan memberikan budget dan wewenang melakukan tender untuk memperbaiki fasilitas pelabuhan yang selama ini dikuasai oleh Pelindo,” ujarnya.
Sementara, khusus untuk Pelindo, Zaldy mendorong agar dikembalikan ke fungsinya sebagai operator pelabuhan serta dilakukan reformasi secara internal di tubuh Pelindo, misalnya pergantian di jajaran direksi Pelindo II mengingat kinerja Pelindo II yang gagal baik di sektor biaya maupun layanan. Jajaran direksi juga gagal membawa Pelindo II menjadi operator pelabuhan yang profesional.
“Ini bisa dilihat dari perpanjangan operasional JICT ke Hutchison dan pengelolaan Kalibaru oleh PSA Singapura. Sekaligus ini membuktikan bahwa untuk menjadi jago kandang aja Pelindo II tidak bisa apalagi ekspansi ke luar negeri,” tegasnya.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia (ABUPI), Aulia Febrial Fatwa, menegaskan bahwa masalah dwelling time bisa diatasi jika semua kegiatan kepelabuhan dikembalikan lagi sesuai amanat di undang-undang dan peraturan yang ada.
“Kembalikan saja ke khittahnya. Siapa yang berfungsi sebagai regulator dan operator. Jika ini dijalankan secara benar, tentu masalahdwelling timeakan terpecahkan,” ujarnya.
Menurut Aulia, kegiatan kepelabuhan itu terbagi menjadi dua, pelayanan kapal dan pelayanan barang atau cargo handling. Prosesnya pun sangat mudah ditelusuri. Mulai dari kapal masuk ke pelabuhan, bersandar, melakukan kegiatan bongkar-muat, hingga kembali bertolak keluar dari wilayah pelabuhan. "Nah, jika ingin tahu dimana bottleneck-nya, cukup ditelusuri satu persatu dari dua kegiatan utama kepelabuhan tersebut,” ujarnya.
Kalau selama ini disebut bahwa OP kalah pamor dengan Pelindo II, kata Aulia, tentu harus dipertanyakan kembali ke OP-nya, kenapa bisa kalah pamor dengan Pelindo II. “Jika sudah dipercaya sebagai regulator, maka sikap dan tindakannya juga harus menunjukkan bahwa dia memang layak menjadi regulator. Jangan kebalikannya. Jika itu terjadi, wajar saja jika OP dimakan terus oleh Pelindo,” tuturnya.
Yang mesti diingat, kata Aulia, OP itu ada di setiap pelabuhan di seluruh Tanah Air—dikenal dengan Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), bukan hanya ada di Pelabuhan Belawan, Tanjung Perak, Pelabuhan Makasar dan Tanjung Priok. Karena itu, sangat penting pemerintah memberikan empower kepada setiap kepala OP. “Semua kegiatan kepelabuhan harus dibawah satu komando, yakni OP sebagai regulkator,” tegasnya.
Aulia meminta kepada Pelindo II agar bertanggung jawab atas kinerja di setiap terminal yang ada di kawasan operasi Pelindo, mulai dari JICT, Terminal Koja, Terminal Nusantara dan terminal-terminal lainnya. “Jika kinerjanya tidak sesuai harapan, sangat mudah melacak siapa yang harus bertanggung jawab,” pungkasnya. (sam/rl/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mudahkan Layanan Pensiun, Taspen Gandeng Bank Mantap
Redaktur : Tim Redaksi