jpnn.com, JAKARTA - Sektor ritel modern masih belum kembali normal seperti sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan, situasi dan kondisi itu bisa dilihat dari indeks penjualan ril, yang disurvei oleh Bank Indonesia (BI).
BACA JUGA: Optimistis New Normal Bakal Perbaiki Emiten Sektor Ritel dan Mal
"Sampai hari ini kondisinya belum kembali pada posisi yang normal," tegas Roy dalam diskusi virtual "Efek Resesi di Tengah Pandemi", Sabtu (7/11).
Ia menceritakan, ketika pemerintah mengumumkan Indonesia sudah dimasuki Covid-19 pada Maret 2020, terjadi panic buying yang menyebabkan penjualan ritel bagus selama dua hingga empat hari pascapengumuman.
BACA JUGA: Pak Anies Umumkan Kabar Baik untuk Warga Ibu Kota, tetapi Jangan Terlena Ya
Sebab, ujar dia, setelah pengumuman adanya virus yang belum pernah terjadi di Indonesia itu masyarakat yang punya daya beli tinggi memborong barang dan membeli bahan makanan minuman yang signifikan.
Padahal, kata dia, pihaknya dalam berbagai kesempatan sudah menyampaikan kepada masyarakat agar tidak usah takut, dan mereka siap melayani dan memenuhi kebutuhan.
BACA JUGA: Heboh Video tak Senonoh Mirip Gisel, Kemenkominfo Sampai Ikut Mengurusi
Sekarang ini, kata Roy, kondisi penjualan ritel belum kembali pada posisi normal.
Indeks penjualan ril bulan ke bulan masih minus di bawah -10 persen. Meskipun ada kontraksi positif, angkanya masih satu digit yakni di antara 5 persen - 6 persen.
Kondisi itu sama seperti ekonomi Indonesia, yang secara kuartalan mengalami pertumbuhan positif, tetapi year on on year masih minus.
"Jadi, situasi belum normal dan underperform sekali," tegasnya.
Dari sisi daya beli, ujar Roy, masyarakat yang berada pada posisi ekonomi menengah ke bawah dalam kondisi suffer.
"Yang disebut kehilangan daya beli adalah menengah ke bawah. Karena mereka dirumahkan, praktis dipotong gajinya ada yang 40 persen, atau 60 persen," katanya.
Sementara itu, untuk menengah ke atas persoalannya bukan pada daya beli, tetapi mereka menahan belanja.
Mereka lebih aware bagaimana kesehatan, edukasi dan perkembangan Covid-19, diikuti lewat berbagai berita di media.
"Mereka lebih aware. Untuk mereka keluar rumah itu satu keputusan luar biasa, ketika mereka tahu masih PSBB dan lain sebagainya sehingga mereka menahan belanja," kata dia.
Lebih lanjut Roy menjelaskan pada saat PSBB ketat, kunjungan masyarakat ke retail modern seperti pusat perbelanjaan, mal, dan sebagainya sangat rendah sekali, hanya 15 persen sampai 20 persen dari kondisi normal.
"Jadi sangat rendah sekali. Seperlima saja dari 100 persen," ungkapnya.
Namun, Roy menegaskan, ketika PSBB transisi, jumlahnya naik menjadi 25 persen sampai 30 persen. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy