DAMASKUS - Serangan tentara pemerintahan Presiden Bashar al-Assad atas posisi oposisi di Kota Homs, sekitar 162 kilometer utara Damaskus, terus berlangsung kemarin (15/2). Korban pun kembali berjatuhan. Pada saat sama, pasukan Assad juga melancarkan serangan di Idlib, Daraa, Aleppo, dan pinggiran Damaskus.
Komite Koordinasi Lokal Syria, jaringan aktivis oposisi, melaporkan bahwa sedikitnya 20 orang tewas di seantero negeri itu akibat serangan pasukan Assad kemarin. Korban jiwa itu termasuk seorang bocah dan tentara pembangkang atau anggota Free Syrian Army (FSA).
Tembakan senjata artileri dan senapan mesin juga terus bergema di berbagai penjuru Homs, kota terbesar ketiga di Syria setelah Damaskus dan Aleppo. Wartawan CNN yang ada di Homs melaporkan kemarin bahwa kota berpenduduk 1 juta jiwa terus digempur pasukan Assad. Aktivis oposisi menyebut pasukan Assad menghancurkan dan meratakan setiap kawasan permukiman yang dihuni oposisi dan warga yang anti-pemerintah.
Ledakan hebat juga mengguncang jaringan pipa minyak di kota itu kemarin. Asap hitam menggumpal di atas lahan pertanian warga di kawasan Baba Amr, yang menjadi target bombardir militer Syria selama lebih dari sepekan terakhir.
Media pemerintah menyatakan bahwa kelompok teroris bersenjata menyabotase jalur pipa minyak tersebut. Namun, aktivis menyebut bahwa ledakan tersebut akibat serangan pasukan pemerintah. Kepada CNN, aktivis LCC menyebut bahwa jet tempur pasukan Assad yang terbang di atas Baba Amr sengaja meledakkan pinya minyak itu. Tentara pro-Assad juga menembaki warga di kawasan Khaldiya, Homs. Banyak orang terluka dalam serangan tersebut.
Dalam perkembangan lain, di tengah perlawanan yang gencar atas pemerintahannya, Assad justru mengumumkan keputusan penting kemarin. Pemerintah Syria memutuskan menggelar referendum pada 26 Februari mendatang untuk mengubah konstitusi yang akan mengakhiri pemerintahan satu partai di negeri itu.
"Presiden hari ini (kemarin, Red) mengumumkan pada 26 Februari sebagai hari pelaksanaan referendum," ungkap kantor berita SANA mengutip seorang pejabat pemerintah. Konstitusi baru tersebut diharapkan akan membawa Syria memasuki "era baru".
Televisi milik pemerintah memberitakan bahwa, dengan adanya konstitusi baru tersebut, kebebasan akan menjadi "hak asasi" dan berlangsung "pemerintahan dari rakyat untuk rakyat" dalam sistem demokrasi multipartai berdasar pada hukum Islam. Konstitusi baru itu jelas berkebalikan dengan Pasal 8 konstitusi lama Syria yang menyebut bahwa Partai Baath adalah pemimpin negara dan masyarakat.
Namun, pengumuman tersebut dinilai oposisi tak cukup untuk mewujudkan reformasi politik di Syria. "Reformasi politik adalah proses yang membutuhkan sejumlah elemen dasar. Salah satunya adalah melibatkan kelompok oposisi," terang Kepala Carnegie
Middle East Centre di Beirut, Paul Salem. "Reformasi juga harus didasarkan pada negosiasi, persetujuan, dan kesepakatan secara politik. Pelaksanaan referendum, seperti halnya pemilu di negara manapun, juga memerlukan stabilitas nasional dan waktu untuk distribusi logistik,?" tambahnya.
"Dalam beberapa hal, ini langkah baik terkait reformasi atau perubahan mendasar dalam politik pemerintahan. Tapi, pelaksanaan referendum di tengah perang pemerintah dan rakyatnya tidak bisa diterima," tandasnya.
Minggu lalu (12/2), komisi yang ditugasi merancang konstitusi baru telah menyerahkan hasil kerja mereka kepada Assad. Lalu, Assad menyatakan akan mempelajari dan mengajukannya ke parlemen sebelum referendum.
"Saat konstirusi baru disetujui, Syria akan melewati tahap paling penting reformasi yang akan membawa negeri ini menuju era baru bagi rakyatnya dan masa depan cerah generasi berikutnya," ujar Assad seperti dikuti SANA. (CNN/AFP/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 118 Ribu Orang Ditilang Karena Nyetir Sambil SMS
Redaktur : Tim Redaksi