Pada tanggal 2 Desember 2019, pekerja migran asal Indonesia (TKI) Yuli Riswati dideportasi dari Hong Kong. Kepulangan Yuli yang berlangsung secara mendadak ini memicu reaksi keras dari beberapa pihak di Indonesia. Namun bagi Yuli sendiri, deportasi dan peristiwa yang mendahuluinya telah meninggalkan luka.
Akhir September, sekitar dua bulan sebelum dipulangkan, Yuli (38) ditangkap oleh petugas Imigrasi Kowloon Bay, Hong Kong, di rumah majikannya dengan dugaan pelanggaran izin tinggal di wilayah itu.
BACA JUGA: Misteri Tetap
Ia sempat ditahan namun dipulangkan saat tengah malam di hari yang sama, dengan jaminan 500 dolar Hong Kong (atau sekitar Rp 900 ribu).
Yuli mengakui kesalahannya. Visa kerjanya memang hanya berlaku sampai 27 Juli 2019. Tapi di lain pihak, ia mengatakan dirinya memiliki kontrak kerja di Hong Kong yang berlaku dari tanggal 12 Januari 2019 hingga 12 Januari 2021.
BACA JUGA: 14 Menit
Dalam kronologi yang disusunnya, Yuli menyebut ia menjalani persidangan sejak akhir September itu dan pada 4 November 2019, ia dinyatakan bersalah karena melanggar izin tinggal dan dikenakan hukuman wajib berkelakukan baik dan tidak melanggar hukum selama 12 bulan.
TKI asal Jember ini lantas mengurus dokumen untuk pengajuan visa, namun ternyata petugas kantor Imigrasi Kawloon Bay menyampaikan bahwa kasus Yuli sudah diserahkan ke kantor Castle Peak Bay Immigration Centre (CIC).
BACA JUGA: Kampus Malam
Malangnya, saat berada di CIC, Yuli justru dinyatakan harus ditahan di Ma Tau Kok Detention Centre dan dibawa kembali ke CIC keesokan harinya. Photo: Postingan berita Migran Pos di media sosial yang menyoroti situasi di Hong Kong.
Sejak 5 November, Yuli ditahan di CIC dan penahanan itu berlangsung selama 28 hari sampai ia dideportasi.
Perempuan yang telah menjadi buruh migran di Hong Kong selama 10 tahun ini curiga, alasan pemulangannya lebih dikaitkan dengan aktivitasnya sebagai jurnalis warga atau citizen journalist.
Sejak awal tahun ini, Yuli bersama beberapa rekannya mendirikan Migran Pos yang memberitakan beragam hal yang terjadi di Hong Kong, termasuk demo besar yang makin memanas. “Karena sebenarnya, kasus yang saya alami itu banyak dialami juga oleh pekerja migran lainnya,” ungkap Yuli.
“Dan itu cukup diselesaikan dengan permintaan maaf,” jelas Yuli kepada ABC melalui sambungan telepon.
Ia mengatakan, majikannya sempat menelepon langsung ke kantor Imigrasi di wilayah Wan Cai, kantor pengajuan visa untuk buruh migran.
Sang majikan bahkan melaporkan dokumen kerja Yuli yang ditahan Imigrasi Kowloon Bay, imigrasi yang pertama kali menangkapnya.
Namun respon Imigrasi Wan Cai justru membuatnya terkejut. “Mereka menelepon balik dan bilang ‘Oh maaf kasus pekerjamu ini spesial. Jadi tunggu sampai dokumennya dikembalikan oleh Kowloon Bay’.”
“Nah tanda ‘spesial’ itu yang menjadi teka-teki buat kami,” ujarnya.
Pada tanggal 2 Desember, setelah beberapa hari meminta akses dokter karena sakit, Yuli diberi izin keluar tahanan. Namun bukannya menemui dokter, Yuli justru dibawa ke bandara lalu dipulangkan ke Indonesia dengan pesawat Cathay Pacific CX 779, dan mendarat di Bandara Juanda, Surabaya, malam harinya.
Pemulangan Yuli itu dikecam oleh organisasi Migrant Care. Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menduga kuat penyebab deportasi Yuli adalah aktivitasnya yang sangat aktif dalam melaporkan situasi demonstrasi di Hong Kong.
“Informasi-informasi yang diproduksi oleh Yuli Arista sangat bermanfaat bagi semua orang yang ingin mendapatkan informasi tangan pertama dari narasumber yang ada di lokasi ketimbang hanya informasi dan peringatan standar yang disampaikan oleh perwakilan Indonesia dalam hal ini KJRI Hong Kong,” jelas Wahyu dalam keterangan resmi yang diterima ABC.
Otoritas Hong Kong, sebutnya, menilai aktivitas citizen journalism (jurnalisme warga) Yuli lewat Migran Pos membahayakan. “Situasi ini memperlihatkan bahwa ada ancaman terhadap kebebasan berekspresi bagi pekerja migran Indonesia, dan negara-negara lainnya, di Hong Kong dan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia,” utara Wahyu.
Kecaman serupa juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. Dalam konferensi pers mereka (3/12/2019), AJI Surabaya menuding Otoritas Hong Kong merasa terancam dengan aktivitas Yuli padahal buruh migran ini, dianggap mereka, membagikan informasi bermanfaat lewat media yang dirintisnya.
“Beberapa artikel yang ditulis Yuli dan kawan-kawannya di Migran Pos, memberikan informasi panduan bagi pekerja yang ingin beraktivitas aman di luar rumah.”
“Misalnya lokasi-lokasi mana yang rusuh, jalan alternatif sampai angkutan umum yang bisa digunakan. Menurut kami, ini semua berkaitan kepentingan dan keselamatan publik.” Terluka dan emosional
Di balik penahanannya selama 28 hari, ada luka yang membekas dalam ingatan Yuli. Ia mengaku sempat diperiksa tanpa busana saat berada di tahanan CIC. Photo: Yuli Riswati (kiri) dalam konferensi pers di Surabaya (3/12/2019). (AJI Surabaya)
“Itu yang membuat saya depresi selama satu minggu, saya seperti kehilangan memori.”
“Seminggu pertama saya di sana saya enggak bisa mengingat. Jadi saya susah banget untuk mengingat, gara-gara waktu itu saya benar-benar sangat emosi.”
“Saya harus bugil, nungging,” ceritanya kepada ABC.
Harga diri Yuli tercabik lantaran ia merasa dirinya bukan seorang kriminal.
“Itu adalah pengalaman pertama saya, jadi ada perasaan tidak terima.”
“Jangankan begitu, mandi kelihatan orang saja saya enggak bisa. Memang enggak bisa seperti itu, keluarga saya aja enggak pernah melihat saya tanpa busana, jadi saya merasa ada sesuatu yang diambil dari saya.”
“Itu yang membuat saya syok, antara marah, sedih, enggak terima. Jadi sempat depresi seminggu dan enggak ingat ngapain aja waktu itu.”
Meski sang majikan menginginkannya kembali ke Hong Kong, namun ia masih ragu untuk kembali menjadi pekerja migran. Tak merasa didampingi
Direktur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Judha Nugraha, mengatakan perwakilan Indonesia di Hong Kong telah mengikuti dan mendampingi kasus yang dialami Yuli.
“Yang bersangkutan didakwa melanggar ketentuan imigrasi Hong Kong yaitu melebihi ijin tinggal atau overstay.”
“Sesuai hukum Hong Kong, pelanggaran imigrasi masuk dalam kategori kasus pidana dimana pelanggarnya diancam sanksi denda dan penjara maksimal 2 tahun,” kata Judha dalam keterangan yang disampaikannya kepada ABC.
Terkait kecurigaan Yuli atas motif penahanan dirinya dan kecaman sejumlah organisasi, Judha mengatakan Pemerintah Indonesia tak bisa berspekulasi tentang kaitan proses hukum yang dihadapi Yuli dengan tulisan-tulisan yang dipublikasikannya, mengenai demonstrasi di Hong Kong.
“Karena sesuai fakta persidangan, yang bersangkutan terbukti bersalah karena melakukan pelanggaran keimigrasian.”
“Pihak KJRI (Konsulat Jenderal RI) Hong Kong senantiasa menghimbau masyarakat WNI di Hong Kong untuk selalu menghormati dan mematuhi hukum setempat,” terang Judha.
Di sisi lain, Yuli tak pernah merasa mendapatkan pendampingan atau bantuan dari Pemerintah Indonesia melalui KJRI.
“Sejak awal saya langsung dibantu oleh majikan, pengacara dan beberapa NGO (LSM) serta keluarga lokal yang memang teman saya dan mengikuti kasus saya dari pertama.”
“Dan sampai Senin malam (2/12/2019), karena saya baru bisa mengakses hp saya Senin malam, selama 28 hari di tahanan otomatis saya terpisah dari dunia luar, di situ saya tidak mendapati satu pesan pun dari pihak KJRI yang menghubungi saya.”
“Saya malah mendapati pernyataan sikap mereka di media. Jadi saya bingung, apa maksudnya?,” tutur Yuli kepada ABC.
Simak berita-berita menarik lainnya di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Agama Angka