Aturan KPU Dinilai Melampaui Wewenang

Minggu, 17 Maret 2013 – 04:44 WIB
JAKARTA - Aturan pendaftaran calon legislatif yang disusun Komisi Pemilihan Umum dinilai melampaui kewenangan. Sejumlah persyaratan yang diatur di peraturan KPU nomor 7 tahun 2013 nampaknya melebih batas dari yang diatur oleh Undang Undang Pemilu nomor 8 tahun 2012.
 
"Tidak dibenarkan jika kemudian KPU menyelundupkan norma hukum baru dalam peraturan KPU," ujar Arif Wibowo, mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Pemilu di Jakarta, Sabtu (16/3).
 
Aturan yang melanggar pertama terkait syarat pencalonan anggota DPR dan DPRD bagi kepala desa atau perangkat desa. Pasal 19 huruf i angka 4 peraturan KPU menyebut bahwa pejabat desa itu wajib membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
 
Menurut Arif, pasal 86 ayat 2 UU pemilu hanya melarang mengikutsertakan kepala desa dan perangkat desa sebagai pelaksana kampanye. "Undang Undang sama sekali tidak mengatur surat pengunduran diri permanen itu," ujar anggota Komisi II DPR itu.
 
Catatan yang tidak kalah penting adalah persyaratan KPU terkait kewajiban keterwakilan 30 persen perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil). Arif menyatakan, pasal 27 ayat 2 peraturan KPU itu menyatakan parpol yang gagal memenuhi syarat pengajuan bakal calon keterwakilan 30 persen perempuan dilarang berpartisipasi di dapil yang bersangkutan.

Maksud pasal ini adalah, aturan UU Pemilu mewajibkan adanya ketentuan di dalam tiga daftar calon terdapat satu calon perempuan. Jika secara akumulasi di satu dapil parpol gagal memenuhi mekanisme sebagaimana pasal 56 ayat 2 UU pemilu, maka pencalonan parpol di dapil itu dinyatakan batal.
 
Arif menyatakan, penerapan sanksi semacam itu berlebihan. Aturan UU Pemilu sengaja tidak mengatur sanksi apabila ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan tidak dapat dipenuhi di setiap dapil.

"Ini karena terbatasnya ketersediaan anggota partai perempuan yang memenuhi standar kekaderan serta kompetensi sebagai caleg, di tengah masih kuatnya struktur patriarki di masyarakat," ujar Arief.
 
Menurut Arif, KPU sesungguhnya bisa menerapkan sanksi yang lebih mendidik. Parpol yang gagal mencapai kuota 30 persen caleg perempuan di setiap dapil, akan diumumkan secara terbuka oleh KPU. "Biarlah masyarakat yang memberikan sanksi, bukan KPU yang tidak memiliki wewenang melakukan itu," ujarnya.
 
Pembatalan seluruh bakal calon, kata Arif, melanggar hak konstitusional calon untuk dipilih dalam pemilu. Sanksi pembatalan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan konflik sosial, terutama di internal partai peserta pemilu.

"Wajah DPR dan DPRD di masa mendatang tidak akan lebih baik meski jumlah anggota DPR dan DPRD perempuan bertambah banyak," ujarnya.
 
Munculnya sanksi terkait keterwakilan perempuan itu sempat memunculkan pertanyaan saat KPU melakukan sosialisasi peraturan KPU itu terhadap 10 parpol peserta pemilu. Ketua KPU Husni Kamil Manik menyatakan, ada perbedaan mendasar antara kewajiban parpol untuk memasukkan syarat keterwakilan 30 persen perempuan.

"Di dalam UU Pemilu baru (UU nomor 8 tahun 2012), ada kewajiban sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dalam daftar bakal calon," ujar Husni.
 
Lebih lanjut, ujar Husni, pasal 56 ayat2 sebagaimana disebut diatas mengatur mekanisme bagaimana parpol wajib menempatkan nomor urut caleg perempuan. Di pasal 59 ayat 1, dalam hal keterwakilan 30 persen perempuan tidak terpenuhi, KPU mengembalikan berkas pencalonan kepada parpol.

"Aturan itu berhenti dengan mengembalikan sampai terpenuhi. Jika tidak terpenuhi, KPU membacanya bahwa parpol tidak bisa berpartisipasi di dapil tersebut," ujarnya.

Aturan ini berbeda dengan aturan lama , yakni UU Pemilu nomor 10 tahun 2008. "Kalau di Undang Undang Pemilu lama, KPU wajib mengumumkan parpol yang tidak memenuhi syarat keterwakilan 30 persen perempuan," tandasnya. (bay)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPU Didesak Cepat Bersikap

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler