Aturan Pancapresan di RUU Pemilu jadi Polemik

Rabu, 28 September 2016 – 05:08 WIB
Suasana pilpres 2014. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Pemerintah telah menyelesaikan penyusunan RUU Pemilu. Polemik mulai muncul terkait materi RUU yang membatasi hak pengajuan capres-cawapres hanya pada parpol pemilik kursi di DPR. 

Aturan tersebut jika diberlakukan berpotensi memunculkan diskriminasi pada parpol peserta pemilu serta bisa melanggar aturan konstitusi.

BACA JUGA: Komisi Informasi Bertekad Ikut Sukseskan Pilkada DKI

Pengamat hukum tata negara Margarito Kamis tidak sependapat dengan wacana yang berkembang bahwa sosok capres dan cawapres hanya berasal dari parpol yang lolos parliamentary threshold pada Pemilu 2014. 

Pasal itu dinilai mengesampingkan posisi parpol yang memiliki hak dan kewajiban sama jika dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu. 

BACA JUGA: Ibas Bicara Blakblakan Mengenai Pencalonan Kakaknya

”Asalkan partai secara hukum menjadi peserta pemilu, ia sah dan memiliki hak,” kata Margarito dalam diskusi di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.

Menurut Margarito, daripada menerapkan pembatasan, seharusnya ada langkah yang lebih partisipatif. 

BACA JUGA: Ingat Ya, Sumbangan Kampanye tak Boleh Sampai Miliaran

Parpol bisa didorong untuk bisa melakukan koalisi di awal atau sebelum pemungutan suara pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak. Aturan tersebut justru lebih efektif daripada memberikan batasan antara parpol lama dan parpol baru. 

”Tidak bisa hanya partai yang punya kursi atau sudah ikut pemilu (bisa mencalonkan). Kalau seperti ini, akan cacat konstitusional,” ujarnya.

Margarito menambahkan, jika perlu, aturan terkait pembatasan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold tidak perlu ada dalam Pemilu 2019. Sebab, ambang batas justru menghilangkan jutaan suara pemilih karena tidak dihitung. 

Merujuk pada Pemilu 2014, ada 22 juta suara yang hilang karena aturan ambang batas parlemen.

”Dengan pilpres bersamaan, harus dipastikan suara yang diperoleh capres juga bisa berakibat pada suara partai. Tidak cukup rasional jika partainya ikut (pemilu), tapi tidak bisa mengajukan capres,” tegasnya.

Di tempat sama, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi mengatakan, aturan pengajuan capres-cawapres yang memberikan hak kepada parpol pemilik kursi di DPR memiliki landasan. 

Menurut Awiek, sapaan akrabnya, sudah ada yurisprudensi dalam pelaksanaan pilkada bahwa yang berhak mengajukan calon kepala daerah adalah parpol pemilik kursi di DPRD. 

”Di pilkada saja ada yurisprudensi parpol baru tidak bisa mencalonkan diri. Kalau hanya pendukung, bisa,” kata Awiek.

Mantan komisioner KPU Pemilu 2004 Chusnul Mariyah menambahkan, salah satu isu yang berkembang menjelang Pemilu 2019 adalah e-voting atau pemilihan secara elektronik. Secara pribadi, Chusnul tak sependapat dengan e-voting. 

Sebab, bisa jadi pemilu menjadi proses yang pabrikasi, yang memunculkan kesan sudah dirancang pemenangnya. ”Indonesia sudah sangat demokratis dengan penghitungan suara di TPS,” kata Chusnul.

Selain itu, lanjut Chusnul, pelaksanaan pileg dan pilpres secara serentak bisa memunculkan problem saat ada sengketa. Menurut dia, akan sangat sulit bagi pembuat undang-undang merumuskan pasal terkait sengketa pileg dan pilpres yang berlangsung bersamaan. 

”Saya sendiri belum bisa membayangkan seperti apa pasal-pasalnya,” ujar Chusnul. (bay/c6/agm)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Demokrat Formulasikan Agenda Pemenangan Lima Pilkada di Lampung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler