jpnn.com, JAKARTA - Aturan pemberian pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10), juga memantik kontroversi.
Aturan mengenai pemberian pesangon tertera di dalam klaster ketenagakerjaan Pasal 156 UU Ciptaker.
BACA JUGA: Massa Buruh Membeludak, Tegas Menolak UU Cipta Kerja
Ini merupakan perubahan dari Pasal 156 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 156 Ayat 1 UU Cipta Kerja menyatakan dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
BACA JUGA: Partai Demokrat Ungkap 7 Hal Mengerikan dari RUU Cipta Kerja
Pada Ayat 2 disebutkan bahwa pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. Masa kerja kurang dari satu tahun, satu bulan upah.
BACA JUGA: Saldo Milik 3 Ribu Orang Dikuras, Ditransfer ke Rekening Para Tetangga, Waspadalah!
b. Masa kerja satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun, dua bulan upah.
c. Masa kerja dua tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga tahun, tiga bulan upah.
d. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari empat tahun, empat bulan upah.
e. Masa kerja empat tahun atau lebih tetapi kurang dari lima tahun, lima bulan upah.
f. Masa kerja lima tahun atau lebih, tetapi kurang dari enam tahun, enam bulan upah.
g. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari tujuh tahun tujuh bulan upah.
h. Masa kerja tujuh tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan tahun, delapan bulan upah.
i. Masa kerja delapan tahun atau lebih, sembilan bulan upah.
Sementara dalam Ayat 3 dinyatakan bahwa uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan
sebagai berikut:
a. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun, dua bulan upah.
b. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari sembilan tahun, tiga bulan upah.
c. Masa kerja sembilan tahun atau lebih tetapi kurang dari dua belas tahun, empat bulan upah.
d. Masa kerja duabelas tahun atau lebih tetapi kurang dari lima belas tahun, lima bulan upah.
e. Masa kerja lima belas tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan belas tahun, enam bulan upah.
f. Masa kerja delapan belas tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh satu tahun, tujuh bulan upah.
g. Masa kerja dua puluh satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh empat tahun, delapan bulan upah.
h. Masa kerja dua puluh empat tahun atau lebih, sepuluh bulan upah.
Pasal 156 Ayat 4 menyatakan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja.
c. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dalam Ayat 5 dinyatakan, ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Adapun persoalan komponen upah yang digunakan sebagai dasar penghitungan uang pesangon, dan uang penghargaan masa kerja diatur dalam Pasal 157 UU Cipta Kerja.
Ini merupakan perubahan dari Pasal 157 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 157 Ayat 1 UU Cipta Kerja disebutkan bahwa komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, terdiri atas:
a. Upah pokok.
b. Tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
Pasal 157 Ayat 2 menyatakan dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikali upah sehari.
Sementara itu, Ayat 3 menyatakan bahwa dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
Ayat 4 menyebutkan, dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari upah minimum maka upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan.
Di antara Pasal 157 dan 158 disisipkan satu pasal yakni Pasal 157A.
Adapun Pasal 157A Ayat 1 menyatakan selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
Ayat 2, pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Ayat 3, pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.
Sementara itu, Pasal 160 Ayat 1 UU Ciptaker mengatur detail soal bantuan terhadap buruh yang ditahan pihak berwajib karena melakukan tindak pidana. Pasal ini merupakan perusahan dari Pasal 160 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 160 Ayat 1 UU Cipta Kerja dinyatakan bahwa dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk satu orang tanggungan, 25% dari upah.
b. Untuk dua orang tanggungan, 35% dari upah.
c. Untuk tiga orang tanggungan, 45% dari upah.
d. Untuk empat orang tanggungan atau lebih, 50% dari upah.
Ayat 2 menyatakan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
Sementara itu, dalam Ayat 3 dinyatakan bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat 4 menyebutkan, dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
Ayat 5 dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 158, 159, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 184 UU Ketenagakerjaan dihapus. (boy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Boy