Auman Harimau Sumatera Tidak Lagi Menakutkan

Minggu, 07 Agustus 2016 – 00:08 WIB
Harimau di kebun binatang Bukittinggi. Foto: Riau Pos/JPNN.com

jpnn.com - POPULASI Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) di Riau kian sedikit.  Perburuan liar dan pembukaan areal perkebunan yang menghancurkan habitat hidup mereka disinyalir menjadi penyebab utama semakin kritisnya jumlah harimau di Riau maupun di Sumatera.

Saat ini auman harimau Sumatera tidak lagi menakutkan. Aumannya justru ditunggu, dicari, dan diburu hingga keceruk hutan yang tak bertepi.

BACA JUGA: Merinding! Cerita Pembuat Batu Nisan saat di Kuburan Preman yang Mati Terbunuh

GEMA SETARA dan ERWAN SANI, Pekanbaru

NUN di ujung pelosok sebuah kampung yang bernama Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis beberapa waktu lalu heboh dan masyarakatnya gundah gulana. Betapa tidak, harimau sumatera yang sebelumnya tidak pernah muncul di kampung itu, tiba-tiba menampakkan dirinya.

BACA JUGA: Bidan Tangguh Itu Naik Turun Gunung Demi Pasien

Kondisi ini mengkhawatirkan masyarakat setempat. Betapa tidak, munculnya harimau itu mengakibatkan segala aktivitas pekerjaan mereka terganggu.  Mereka khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat mereka melakukan aktivitas di luar rumah, apakah di kebun atau di mana saja.

Memang kampung ini dikelilingi hutan dan perkebunan yang cukup luas. Hutan yang bersempadan dengan kampung itu memang telah diketahui masyarakat sebagai tempat tinggal harimau sumatera.

BACA JUGA: Jangan Hanya ke Pulau Komodo, Bawalah Roti, Tebar ke Kolam Tuhan

Melihat kondisi itu, masyarakat berembuk dan akhirnya mendapatkan kesimpulan munculnya hewan yang ditakuti itu karena selama ini mereka lupa  menggelar acara belokampung.  

Kegiatan ini sebagai bentuk rasa persahabatan yang dibina masyarakat setempat dengan segala macam makhluk ciptaan Sang Khalik, terutama harimau.

Jika melihat geografis kampung itu memang tidak dipungkiri hewan-hewan buas yang ada di kawasan hutan bisa sekehendak hatinya datang tanpa diundang ke kampung itu. Dan sesuai kesepakatan masyarakat, akhirnya acarabelo kampung digelar. 

Ritual belo kampung hari itu dipimpin Zulkifli. Semerbak aroma kemenyan menyeruak menusuk hidung.  Seekor kambing disembelih dan bagian-bagian tertentu dari kambing tadi seperti kepala, kaki bagian depan dan belakang dipisahkan.Sementara bagian lainnya dimasak untuk selanjutnya dimakan masyarakat sekampung.

Usai mengubur kepala kambing, Zulkifli memisahkan kaki kambing menjadi dua bagian dan dimasukkan ke dalam dua dulang yang berbeda. Masing-masing dulang sudah berisi dua piring nasi pulut yang di atasnya terdapat telur ayam kampung, satu sisir pisang kapok dan satu gelas air putih. 

‘’Yang bagian tangan (kaki kambing bagian depan, red) laut sedangkan bagian kaki untuk bagian darat,’’ kata Zulkifli saat itu.

Bersama kepala desa dan warga setempat Zulkifli mengantar dan meletakkan tangan kambing, nasi kunyit, air putih dan pisang tadi di sekitar kawasan hutan yang tidak jauh dari sungai. Hal yang sama juga dilakukan terhadap kaki kambing yang ditempatkan pada hutan sebelah darat.  

‘’Alhamdulillah semuanya sudah selesai dengan baik. Mudah-mudahan semuanya memberi manfaat bagi semua masyarakat. Tolong perhatikan dan ikuti pantang larang yang ada. Bendera hitam yang sudah diberi tanda tadi sudah bisa dicacakkan pada empat sudut batas kampung,’’ kata Zulkifli ketika itu.

Mengapa kain hitam diberi tanda silang, sementara kain lainnya tidak? Zulkifli mengatakan itu tanda bahwa yang melakukan atau yang memimpin upacara belo kampung itu masih keturunan yang sama. 

Adapun pantang larang yang dimaksud jangan mencincang tunggul, ketika masuk ke hutan hendaklah menggunakan baju dan baju jangan diletakkan di leher. Serta ketika mandi hendaklah menggunakan basahan. 

‘’Selama ini kampung ini memang kampung dibelo, sayo sudah generasi ketiga yang memimpin acara ini. Diharapkan dengan kegiatan ini kampung dibelo adatpun tejago (terjaga, red),’’ ujarnya.

Di Pulau Muda, Kabupaten Pelalawan upaya ‘’bersahabat’’ dengan harimau juga dilakukan masyarakat. Bentuk ‘’persahabatan’’ itu juga dilakukan dengan menggelar tradisi semah kampung.  

Ritualnya sama dengan belo kampung di Tasik Serai, Bengkalis. Intinya, pemimpin ritual meminta kepada Allah SWT agar harimau tidak mengganggu kampung mereka.

Kearifan lokal masyarakat tempatan seperti ini sudah jarang dilakukan. Kearifan lokal seperti ini bisa mengekalkan hidup dan kehidupan baik manusia maupun harimau. Manusia tidak diganggu oleh harimau sehingga bisa mencari nafkah untuk anak dan isterinya. Sementara harimau bisa hidup bebas di belahan hutan yang lebat.

Tinggal 300-400 Ekor

Manajer Program Sumatera Bagian Tengah WWF Wishnu Sukmantorodidampingi Humas WWF Riau Syamsidar ditemui Riau Pos (Jawa Pos Group), mengugkapkan saat ini diprediks jumlah harimau di Sumatera khususnya Riau dan Jambi hany sekitar 300-400 ekor saja. Ada beberapa penyebab menurunnya populasi harimau sumatera.

Pertama, katanya, dikarenakan adanya penurunan kawasan hutan sebagai tempat habitat harimau.

Kedua penurunan populasi harimau dikarenakan perburuan. Indikasinya bisa dilihat dengan masih banyak perdagangan kulit harimau dan sebagainya. ‘’Identifikasi kami, hotspot pemburu itu berada di Riau dan Jambi,’’ sebutnya.

Para pemburu ini menggunakan berbagai macam cara untuk memburu harimau, ada yang menggunakan sistim jerat, ada yang menggunakan senjata api dan pula yang menggunakan teknik racun. 

Hanya saja, teknik racun ini sudah banyak ditinggalkan para pelaku pemburu, karena teknik ini kurang efektif karena kualitas kulit harimau yang mereka dapatkan kurang bagus.

Ditambahkannya, di Riau sendiri basis para pemburu itu ada di Pekanbaru, Indragiri Hilir (Inhil) dan Kuantan Singingi (Kuansing) dan ada penampung. 

‘’Dalam catatan kami untuk penampung ini ada sekitar empat sampai lima orang, sementara pemburu jumlahnya sangat banyak bisa mencapai puluhan orang,’’ ujarnya lagi.

Untuk penjualan biasanya para pemburu ini memanfaatkan mediator, sedangkan untuk harga kulit harimau utuh berkisar Rp 10 juta hingga Rp 20 juta, sedangkan untuk tulang mencapai Rp5 juta.  

‘’Untuk pembeli biasanya dijual lokal, namun tidak menutup peluang masuk ke Malaysia dan Thailand,’’ ungkapnya.

Sementara untuk landskap harimau sumatera di Riau berdasarkan pendataan yang dilakukan pihaknya berada di hutan Senepis, Kota Dumai dengan perkiraan populasi 20-40 ekor, Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu belum diketahui jumlahnya.

Sekitar CPI Kecamatan Mandau sekitar 2-3 ekor, Rimbang Baling 20-22 ekor, Bukit Betabuh 11-14 ekor, Bukit Tigapuluh 20-40 ekor, Kerumutan 7-10 ekor, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) sekitar 7-9 ekor.

‘’Sebenarnya seluruh area di Riau ini ada harimau terutama di area-area konsesi beberapa perusahaan di Riau. Artinya, harimau sumatera itu tidak hanya ada di kawasan yang disebutkan tadi, melainkan ada di seluruh area, hanya saja kami tidak memiliki data berapa jumlahnya,’’ ujarnya. (fiz/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menengok Kebiasaan Turis Tiongkok, yang Sering Bungkus Makanan Hotel


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler