Australia dan Indonesia menyadari pentingnya penguatan kerjasama antara pihak pemerintah dan swasta untuk menangkal penggunaan media sosial (medsos) oleh jaringan teroris. Dalam kurun waktu 2 tahun, perusahaan medsos Twitter telah menghentikan sekitar 1,2 juta akun yang terkait tindak terorisme.
Dalam pertemuan sub-kawasan tentang penanganan terorisme di Jakarta (6/11/2018), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, Wiranto mengatakan makin banyak jaringan teroris yang menggunakan platform medsos untuk mendukung aktivitas mereka.
BACA JUGA: Bau Durian Menyengat Dalam Kabin Sriwijaya Air Picu Protes Penumpang
Wiranto memaparkan, kelompok itu menggunakan medsos untuk menyebarkan propaganda, memengaruhi masyarakat, hingga memberikan pelajaran tentang cara merakit bom. Menurutnya, dalam kondisi seperti ini kerjasama antar sektor sangat dibutuhkan.
"Kita juga melakukan satu, pembicaraan, bagaimana kita, swasta yang mengelola media sosial dengan pemerintah bisa kerjasama untuk bisa memblok penggunaan media sosial untuk maksud-maksud negatif. Penggunaan media sosial untuk kepentingan-kepentingan kejahatan," jelasnya dalam konferensi pers bersama Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton, selepas pertemuan yang dihadiri perwakilan 9 negara tersebut.
BACA JUGA: Beijing Berlakukan Sistem Pengawasan Berbasis Pengenalan Gaya Berjalan
Sementara itu, Menteri Peter Dutton mengatakan, kerjasama dengan pihak pengelola medsos dibutuhkan karena pemerintah diharapkan tetap bisa melindungi warganya meski kejahatan saat ini sebagian dilakukan di dunia maya.
"Masyarakat di Australia dan masyarakat di Indonesia mengharapkan institusi penegak hukum dan intelijen untuk mampu mendeteksi pesan yang disampaikan lewat media sosial, yang jika tidak terdeteksi, bisa menghilangkan nyawa."
BACA JUGA: Hubungan Diplomatik Australia China Mencair, Pebisnis Australia Optimistis
Photo: Para Menteri dari 9 negara Asia-Pasifik bertemu di Jakarta membahas terorisme. (Supplied; Australian Embassy)
Lebih lanjut Dutton menerangkan, dalam pertemuan sub-kawasan yang diinisiasi Australia dan Indonesia tersebut, terungkap bahwa selama beberapa tahun, sebanyak 1,2 juta akun media sosial Twitter yang terkait dengan tindak terorisme telah dibekukan.
"Mereka semua diduga terlibat dalam organisasi, propaganda atau tindak terorisme. Dan itu adalah jumlah yang signifikan tapi mungkin hanyalah bagian kecil dari masalah yang harus kita tangani, tak hanya sekarang ini, tapi seiring dengan meningkatnya penggunaan media social dari tahun ke tahun," ujarnya dalam konferensi pers tersebut.
Ketika dihubungi ABC (6/11/2018), pihak Twitter membenarkan pernyataan Menteri Dutton.
"Kami telah berinvestasi dan mengandalkan teknologi untuk memantau dan menghapus secara aktif konten serta akun yang melanggar dari Twitter," sebut Kate Hayes dari Twitter.
Dalam pernyataan resminya, Twitter menulis bahwa selama periode dua tahun, perusahaannya memang menonaktifkan jutaan akun yang mencurigakan.
"Antara 1 Agustus 2015 dan 31 Desember 2017, kami membekukan 1.210.357 akun dari Twitter karena pelanggaran yang berhubungan dengan kampanye tindak terorisme."
Twitter tak menjelaskan secara detil metode apa yang mereka gunakan untuk mendeteksi akun mencurigakan tersebut, namun mereka menggunakan bantuan teknologi.
"Kami memakai mesin, memelajari berbagai macam sinyal berbeda untuk membantu kami menentukan apakan sebuah akun bisa terkait dengan tindakan (terorisme) semacam ini. Ada banyak sinyal yang kami pertimbangkan, sebagian besar tak tampak secara eksternal," kata Kate Hayes melalui pesan elektronik.
Pertemuan sub-kawasan tentang penanganan terorisme ini juga menyepakati pemberian bantuan teknis dan pengembangan kapasitas warga sipil untuk mencegah radikalisasi. Selain Australia dan Indonesia, pertemuan ini juga dihadiri delegasi dari Brunei, Malaysia, Myanmar, Selandia Baru, Filipina, Singapura dan Thailand.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemancing Selamat Dari Sengatan Hewan Berbisa Paling Mematikan Di Dunia