Stress akibat terpaan gelombang udara panas yang melanda Australia sepanjang tahun 2013 lalu ternyata telah membebani ekonomi negara itu lebih dari $6 miliar selama tahun anggaran tersebut karena kerugian produktivitas dan absensi pekerja.Sebuah penelitian yang dipublikasikan di journal Nature Climate Change ini juga menyarankan perusahaan di Australia perlu memperkenalkan cara-cara baru untuk mengurangi paparan udara panas seiring dengan terus meningkatnya frekuensi gelombang udara panas akibat perubahan iklim di kawasan tersebut. Dalam melakukan studi ini, ekonom lingkungan, Dr Kerstin Zander, di Universitas Charles Darwin, dan koleganya melakukan survey online terhadap 1726 pekerja di seluruh Australia untuk melihat bagaimana produktifitas mereka terpengaruh oleh suhu panas. Survey ini yang dilakukan tahun 2014 lalu ini mencoba melihat kembali kondisi selama 12 bulan terakhir dimana Australia diketahui memiliki hari-hari dengan udata terpanas dalam catatan sejarah iklim Australia. Peneliti mendapati 75 persen responden dalam survey mereka mengaku terdampak oleh udara panas tersebut di kantor mereka, 70% responden lainnya mengaku udara panas telah membuat mereka tidak produktif setidaknya selama satu hari dan sekitar 7 persen responden lainnya mengaku tidak pergi bekerja setidaknya satu hari. Zander mengatakan rata-rata biaya ekonomi yang dialami disebabkan oleh kerugian produktifitas akibat tekanan udara panas mencapai US$932 (sekitar Rp 12 juta) per orang per tahun. Menurutnya secara umum mayoritas pekerja di Australia menderita stres panas yang diistilahkan dengan "presenteeisme" , bukan tidak masuk alias absen. Ini berarti para pekerja yang disurvei tetap bekerja, namun mereka mengalami penurunan produktivitas dan sebagai kompensasinya waktu kerja mereka menjadi lebih lama. Setelah dampak ekonomi dari perilaku ini diperhitungkan, maka kerugian rata-rata per pekerja per tahun menurun dengan nilai sebesar $655 atau Rp 8,5 juta. Zander mengatakan dengan asumsi sampel dalam riset ini yang mewakili 9,5 juta tenaga kerja di Australia, maka total kerugian beban ekonomi terhadap perekonomian nasional Australia itu diperkirakan mencapai US$6,2 miliar atau 0,33-0,47 persen dari PDB Australia. Namun yang mengejutkan adalah sekitar setengah dari kerugian produktifitas tahunan itu ternyata berasal dari pekerja yang hanya sebentar saja menghabiskan waktu kerja mereka di luar ruang. Zander menduga kemungkinan para pekerja ini terganggu kualitas tidurnya pada malam hari dikarenakan cuaca panas sehingga datang ke kantor dengan kondisi kelelahan. Studi ini merupakan penelitian pertama yang menyoroti dampak gelombang udara panas terhadap semua jenis pekerjaan di Australia, karena studi sebelumnya hanya difokuskan pada sektor seperti konstruksi dan pertambangan. Menurutnya fakta ada banyak pekerja didalam ruangan yang juga melaporkan tekanan akibat cuaca panas ini menunjukan perlunya seluruh perusahaan di Australia memiliki strategi untuk mengatasi dampak terpaan gelombang udara panas di lingkungan kerja mereka masing-masing. Strategi ini bisa termasuk memperingati para pekerja tentang dampak tekanan udara panas selama kegiatan akhir pekan mereka agar tidak mempengaruhi kinerja mereka pada pekan mendatang. Sementara untuk mengurangi paparan udara panas di kantor, perusahaan dinilai perlu juga memperbaiki akses terhadap air minum dan program kebugaran sebagai upaya mitigasi terhadap dampak dari meningkatnya frekuensi gelombang udara panas di Australia. Zander mengatakan pemerintah dan pengusaha telah gagal memahami biaya dari perubahan iklim terhadap produktifitas dan karenanya Ia berharap risetnya dapat memulai diskusi mengenai hal tersebut. Terutama sekali pemerintah dan perusahaan yang berada di bagian Selatan Australia yang menurutnya sangat ketinggalan dibandingkan kawasan yang paling panas di Australia seperti Northern Territory yang telah melakukan banyak hal terkait pengelolaan udara panas ini.
BACA JUGA: Kebiasaan Memberi Makan Burung Liar Ganggu Keseimbangan Spesies
BACA ARTIKEL LAINNYA... Uang Kertas Pertama Australia Ditemukan Lagi Setelah Hilang 80 Tahun