jpnn.com - DULU, orang Surabaya menyebut preman itu korak. Lalu dipelesetkan menjadi korea. Karena itu, istilah korea-korea itu di Kota Buaya diartikan sebagai gerombolan korak, yang dalam aksen Jawa Tengahan dinamai gali. Kependekan dari “gabungan anak liar”. Saya tidak tahu persis asal muasal metamorfosis kata korak menjadi korea itu.
Apa tautannya dengan Bangsa Korea? Saya duga, itu sekadar plesetan yang mencoba menurunkan level makna, dari nuansa “seram” menjadi “jenaka” saja. Di beberapa padang golf di Jakarta, yang members-nya didominasi oleh pengusaha dan profesional asal Korea dan Jepang, juga terdengar suara tidak sedap. Obrolan kecil di lingkungan caddies, yang sering lewat di kuping saya, juga sedikit minor.
Dikesankan oleh pembawa stik itu, bahwa golfer Korea rata-rata pelit tips. Tidak boros dalam memberi salam tempel kepada mereka yang sudah empat jam mendorong bag dan memilihkan stick. Mungkin, itu kesan lama yang belum sempat saya bersihkan dari otak saya. Mungkin sudah berubah sekarang. Saya melihat ada trend “demam Korea” yang cukup kuat di kalangan anak-anak muda di Jakarta, belakangan ini.
:TERKAIT Mereka lebih apresiatif dan melihat Korea mirip dengan iklan pariwisata yang dicitrakan Negeri Ginseng itu, “Sparkling Korea”. Negeri bertabur bintang. Lama, saya coba tanyakan, dari mana anak-anak muda itu tahu banyak tentang negeri yang dipimpin Presiden ke-17, Lee Myung-bak itu? “Artisnya ganteng-ganteng imut! Kisah-kisah roman di drama film TV menyenangkan, jauh lebih natural dari sinetron-sinetron kita yang terkesan dibuat-buat.
Saya sering menonton film Full House, My Girl, My Tutor Friends yang asyik diikuti. Yang terbaru, ada Keep Love Me My Love dan My Wife is A Gangster I, II, III. Wah, keren semua!” ucapnya sambil senyum-senyum malu. Kalau artisnya? “Ada Won bin, Hyun bin, Jung Il-woo, Kim bum itu aktor yang caem banget. Ada yang mirip gue, matanya sipit-sipit manis!” haduh, makin ketinggalan saja saya rasanya? Ini sudah mirip film bersambung “Meteor Garden” asal Taiwan, yang sempat ngeboom di penghujung decade 90-an itu.
Orang juga sudah mulai membuat potongan rambut bergaya Korea, mirip F-4 (dibaca Flower Four, red) yang menjadi ikon Meteor Garden dengan empat pemuda ganteng itu. Dulu, sepuluh tahun silam, orang mengenal Korea itu hanya sebagai Negeri Ginseng. Negeri penghasil obat herbal penambah stamina dari akar tanaman yang amat melegenda. Lalu, teknologi Korea yang diwujudkan dalam karya otomotif, seperti mobil Hyundai dan KIA.
Lalu teknologi elektronik melalui merek Samsung, baik televisi, LCD, LED, maupun smart seluler yang mendunia. Bagi penggemar olahraga, Korea juga dipersepsikan sebagai rival besar dalam peta bulutangkis dunia, selain China, Malaysia, Denmark, India dan Jepang. Reputasi Korea di cabang yang sudah dipertandingkan di Olympic Games ini sangat kuat.
Satu kali memboyong Piala Uber, simbol supremasi beregu perempuan di tahun 2010. Tiga kali menggondol Piala Sudirman, beregu, dengan komposisi lima partai, dua tunggal pria, dua tunggal perempuan, dan satu ganda campuran. Persisnya, tahun 1991, 1993 dan 2003. Di sepak bola, Korea jauh lebih cepat ngetop, bersama Jepang dan China.
Saat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002 bersama Jepang, pamor Korea Selatan pun semakin melambung. Mereka pantas menjadi host even sepak bola paling akbar itu, karena sudah terbukti sanggup memproduksi pemain kaliber seperti, Park Ji-sung yang eksis merumput di Liga Inggris. Midfielder yang lahir di Seoul 25 Februari 1981 itu dikontrak lama oleh Setan Merah Manchaster United.
Rasanya, ke depan “demam Korea” akan semakin menjadi-jadi. Paling tidak, itulah yang saya rasakan setelah, dua setengah jam, saya mengikuti pertemuan Menko Perekonomian Hatta Rajasa menerima rombongan Minister of Knowledege Economy of Korea Sukwoo Hong di kantor Menko, Lapangan Banteng, kemarin. Mereka bicara detail per item, dari delapan Kelompok Kerja Working Level Task Force (WLTF) yang dihimpun dalam Sekretariat Bersama Indonesia-Korea.
Korea mendapat kehormatan sebagai mitra utama MP3EI. Membaca laporan masing-masing group working itu, Korea sepertinya sedang habis-habisan menanamkan investasi ke Indonesia. Tidak ada investasi yang tidak membawa muatan budaya dan adat istiadat aslinya. Itulah yang cepat atau lambat, akan membuat “suara Korea” semakin nyaring di kota-kota tempat mereka berinteraksi dengan publik di Indonesia. Hatta menunjukkan angka pertumbuhan kerjasama Korea-Indonesia yang signifikan.
Volume investasi meningkat 45,4 persen, dari USD 18,3 M tahun 2010, menjadi USD 26,6 M di 2011, target tahun 2012 ini USD 40 M. “Kami makin yakin, akan segera menembus angka USD 100 M,” kata Hatta yang menjelaskan projek MP3EI telah merampungkan 94 projek kegiatan ekonomi utama dan ground breaking infrastruktur senilai Rp 490,5 Triliun. Ada beberapa catatan penting yang digaris bawahi Hatta agar segera ditemukan solusi cerdasnya. Pertama, soal upah minimum buruh, dengan segala hiruk pikuknya, agar ketemu solusi yang berkelanjutan.
Kedua, regulasi kawasan belikat atau the boned area regulation. Ketiga, soal kendala lahan di group industri dan korporasi. Keempat, soal keringanan pajak yang diminta 18 tahun, dari aturan 10 tahun. Kelima, soal supply gas. Keenam, soal kerjasama infrastruktur rel kereta api jalur lintas Sumatera, Jembatan Selat Sunda, rel Soekarno Hatta-Kota Jakarta.
Ketujuh, soal rehabilitasi Sungai Citarum dari atas sampai down stream. Kedelapan, soal bio mass energy, dan beberapa perusahaan Korea yang sedag mengurus izin di Sulawesi. Kesembilan, soal pesawat C-235 yang bisa diproduksi PT Dirgantara Indonesia. Tentu, masih banyak yang tidak bisa diangkat di sini, dari soal finansial, industry petrokimia, kapal selam, pertambangan, minerba, alih teknologi, dll yang harus tuntas sebelum April 2012.
Demam Korea betul-betul tidak bisa dibendung, bahkan semakin deras alirannya. Atau menemukan potensi bisnis dan perdagangan dengan Korea? Anda sudah mempersiapkan diri di era “demam Korea”? Asal tidak korak dan pelit saja? Sebeb, kalau budaya itu yang ikut tertransfer, maka kelak akan ada istilah lain dari kata “pelit”, yakni Korea! Ah.. dasar Korea loe!(*)
(*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi-Direktur Indopos, dan Wadir Jawa Pos.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cari Masalah ala Anindya Bakrie
Redaktur : Tim Redaksi