Awas! Pertumbuhan Ekonomi Terhambat karena Kenaikan PPN jadi 12 Persen

Kamis, 21 Maret 2024 – 11:54 WIB
Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan mengingatkan pemerintah terkait rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Ilustrasi/foto: dokumentasi JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan mengingatkan pemerintah terkait rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.

Abdul Manap menilai rencana kenaikan pajak PPN menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

BACA JUGA: Pemerintah Kaji Kenaikan PPN jadi 12%, Bagaimana Nasib Daya Beli Masyarakat?

"Memang ketika diambil kenaikan tarif itu (PPN 12 persen) nanti dampaknya akan terasa terhadap perekonomian, jadi jangan sampai kenaikan PPN ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," kata Abdul dalam Diskusi Publik Indef 'PPN Naik, Beban Rakyat Naik' yang digelar virtual di Jakarta, Rabu (20/3).

Abdul memberikan catatan bahwa pada 2023 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mengalami perlambatan menjadi 5,03 persen dibandingkan 2022 yang tercatat 5,31 persen.

BACA JUGA: Said Abdullah: Kenaikan PPN 12 Persen Membebani Rakyat dan Pelaku Usaha

Menurut Abdul, naiknya PPN akan berimbas pada kecenderungan masyarakat untuk lebih berhemat mengingat harga barang dan jasa yang turut naik.

Hal itu dikhawatirkan makin menekan indikator konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) utama.

Pada 2023, tingkat konsumsi rumah tangga telah mengalami perlambatan menjadi 4,82 persen dibandingkan 2022 yang tercatat 4,9 persen.

Komponen non makanan diprediksi menjadi komponen konsumsi yang paling terdampak adanya kenaikan PPN 12 persen nanti, yaitu kelompok transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel.

"Ini khawatirnya ketika PPN itu naik, orang-orang cenderung menahan plesiran, yang pada akhirnya menyebabkan sektor-sektor konsumsi yang bukan kebutuhan pokok itu menurun," ujar Abdul.

Dia menjelaskan kenaikan PPN juga mempunyai potensi berdampak terhadap inflasi.

Menurutnya, meski berbagai komoditas yang tak dikenakan PPN seperti beras, jagung, sagu dan komoditas lainnya, tetapi tidak ada jaminan bahwa harga komoditas tersebut akan terkendali di pasaran.

"Penjual itu akan reaktif ketika terjadi kenaikan PPN. Mereka tidak peduli, apakah komoditas yang dinyatakan tidak naik itu justru mereka naik, apalagi di pasar tradisional yang tidak terpantau," katanya.

Kekhawatiran tersebut ditambah dengan kondisi perekonomian global tahun ini yang masih dibayangi ketidakpastian.

Sebagai informasi, kenaikan PPN 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen. Namun, kata Airlangga, penyesuaian peraturan itu tergantung dari kebijakan pemerintah selanjutnya.(antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
PPN   pajak   Ekonomi   Perekonomian  

Terpopuler