jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2025 menjadi 12 persen.
Rencana Kebijakan itu disampaikan oleh Menteri Koordinasi Perekonomian Airlangga Hartanto kepada awak media.
BACA JUGA: Mobil Listrik Wuling Binguo EV Dapat Insentif PPN, Harganya Turun, Wow!
Pemerintah berdalih rencana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen bagian dari upaya reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan.
Meskipun berencana menaikkan PPN menjadi 12 persen, Kemenko Perekonomian juga akan tetap memberikan fasilitas PPN kepada sejumlah sektor seperti sejumlah bahan pangan pokok rakyat untuk dibebaskan PPN.
BACA JUGA: Pemerintah Bebaskan Bea Masuk Mobil Listrik dan PPnBM, Tetapi
Atas rencana kebijakan tersebut, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mewanti-wanti pemerintah untuk berhati-hati dan membuat kajian yang matang atas rencana kebijakan tersebut.
Said mengutarakan rencana kebijakan kenaikan PPN itu memang akan memberi dampak kenaikan pendapatan negara antara Rp 350-250 triliun.
BACA JUGA: Komisi III DPR Apresiasi Kejagung Tetapkan Budi Said Jadi Tersangka Korupsi Penjualan Emas Antam
Namun, akan memberi dampak pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional 0,12 persen, dan konsumsi masyarakat akan turun 3,2 persen, upah minimal akan anjlok, dan pemerintah in akan menghadapi banyak risiko ekonomi ditengah ketidakpastian global.
“Berdasarkan Undang Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah memang diberikan kewenangan untuk menaikkan atau menurunkan PPN. Namun dalam hemat saya, pemerintah harus berhati hati atas rencana kebijakan tersebut. Pada tahun 2022 lalu pemerintah telah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Dalam waktu tak berselang lama, PPN akan dinaikkan lagi, saya kira ini jalan pintas untuk menaikkan perpajakan, tidak kreartif, bahkan akan berdampak luas membebani rakyat,” ujar Said.
Menurut Said, mandat UU HPP adalah mendorong reformasi perpajakan secara menyeluruh, mulai dari pembenahan administrasi data perpajakan, memperluas wajib pajak, termasuk mendorong transformasi shadow economy masuk menjadi ekonomi formal agar bisa terjangkau pajak, termasuk sektor digital yang tumbuh pesat namun selama ini lepas dari jangkau pajak.
“Kenapa hal hal seperti tidak lebih diutamakan, ketimbang menaikkan PPN,” imbuh politikus PDI Perjuangan ini.
Said mengatakan kalau kita bandingkan dengan negara-negara di ASEAN, tarif PPN kita saat ini sebesar 11 persen saja itu sudah tertinggi nomor dua di ASEAN.
Filipina tarif PPN nya tertinggi di ASEAN sebesar 12 persen, Indonesia 11 persen, Malaysia, Kambija, dan Vietnam masing masing 10 persen, sementara Singapura, Laos dan Thailand mencapai 7 persen.
“Kalau tahun depan kita naik 12 persen, menjadi tertinggi di ASEAN,” ungkap pria asal Sumenep ini.
Atas rencana pemerintah tersebut, Said juga menyoroti tingkat daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih jika dibandingkan dengan periode sebelum 2019, atau sebelum pandemi Covid-19.
“Konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 memang tumbuh 4,82 persen, tapi perlu kita ingat, pertumbuhan ini masih lebih rendah dibanding dengan rata rata periode 2011-2019 yang berada di level 5,1 persen. Kita juga bisa mencermati angka Indeks Pejualan Riil (IPR) antara periode sebelum covid19 dengan periode pemulihan sejak dua tahun lalu. Pada tahun 2019 IPR sempat menyentuh 250, dengan angka terendah 220, sementara paska covid19, setidaknya di tahun 2023, IPR tahun 2023 rata rata di bawah 210,” ujar Ketua DPP PDI Perjuangan ini.
Prinsipnya, Said meminta pemerintah untuk membuat kajian atas rencana kenaikan PPN ini lebih komprehensif, mempertimbangkan semua aspek, bukan semata mata keinginan untuk menaikkan pendapatan negara, tetapi menimbang bagaimana kondisi perekonomian kita di tahun 2025, terutama daya beli masyarakat, tingkat inflasi di consumer good, perumahan, transportasi, pendidikan dan kesehatan.
“Pemerintah harus banyak akal untuk menaikkan pendapatan negara tanpa harus membebani rakyat,” pungkas Said.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari