jpnn.com, JAKARTA - Penanganan penyebaran konten radikalisme dan terorisme di media sosial (medsos) harus dibarengi dengan penyampaian konten positif untuk memberi literasi kepada masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua DPR RI M Azis Syamsuddin, Jumat (9/4).
BACA JUGA: Soal Larangan Mudik, Komisi V DPR RI: Orang Akan Pulang dengan Segala Cara
Azis intens memantau perkembangan situasi dan kondisi keamanan, pascaperistiwa di Makassar dan Mabes Polri.
“Data yang saya terima dari Komenkominfo hingga 3 April 2021, ada 20.453 konten yang sudah diblokir. Konten itu yang mengandung unsur radikalisme, terorisme yang sebarannya beragam di situs internet, termasuk beragam platform media sosial," ungkap Azis, Jumat (9/4).
BACA JUGA: 30 Juta UMKM Bangkrut, Bang Azis Minta Kemenkop UKM Lakukan Pendataan dan Evaluasi
Sejalan dengan pemblokiran ini, Kominfo diharapkan mampu mengimbangi pertumbuhan konten berbahaya dengan konten yang mengandung unstur literasi positif untuk masyarakat.
"Gandeng media baik di pusat dan daerah, untuk menyampaikan pesan-pesan positif. Tentu saja kemasannya harus kreatif dan bervariatif. Buat semenarik mungkin, jangan monoton dan membosankan," tegas Azis Syamsudin.
BACA JUGA: Azis Syamsuddin Minta Menkes dan BPOM Memprioritaskan Produksi Vaksin Nusantara
Menurut Azis, penyebaran ideologi radikal yang kini memanfaatkan ruang media sosial, harus pula ditangkal dengan pendekatan yang lebih lunak lewat dialog
Jika selama ini, pemerintah hanya menutup akun yang terindikasi menyebarkan radikalisme, ke depan Kominfo juga harus mampu menghadirkan konten monolog.
"Caranya sederhana, libatkan tokoh agama, tokoh masyarakat sampai komedian dalam setiap konten. Stand up komedi juga termasuk ke dalam monolog yang bisa menghadirkan pesan menghibur. Asupan ini sederhana tetapi mengena," papar Azis Syamsuddin.
Terkait dengan sikap dan langkah Kepolian dalam melihat konteks radikalisme, Azis kembali meminta polisi lebih tegas. Proses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos dan terindikasi menyebarkan paham radikal harus dilakukan. Terutama paham yang menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam kedaulatan negara.
"Tak ada toleransi. Ini sejalan dengan aturan yang sudah dibuat. Oolisi bisa menjerat pemilik akun medsos radikal tersebut dengan Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," jelas Azis.
Pemblokiran merupakan langkah preventif tetapi juga harusnya ditindaklanjuti dengan langkah pemidanaan, karena hukum positif di Indonesia sudah mengaturnya.
"Polisi punya mesin pendeteksi. Tidak harus menunggu pengaduan atau laporan masyarakat untuk memproses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos," timpal Azis.
Polisi siber, lanjut Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini, memiliki kemampuan dan kewenangan untuk bertindak tanpa harus menunggu pengaduan masyarakat.
"Kekuatan Polisi siber sangat besar. Mencegah meluasnya penyebaran paham radikal atau radikal terorisme yang sangat mengancam kedaulatan negara, kehormatan dan wibawa negara, menjadi garis besar dari tugas Polisi siber," tegasnya.
Sebelumnya, mantan narapidana teroris Haris Amir Falah, menyebut ada perubahan pola rekrutmen orang yang disiapkan melakukan aksi teror. Rekrutmen calon teroris tidak lagi melalui tatap muka, melainkan via media sosial.
Melalui media sosial, calon pengantin bisa melakukan dialog tanpa bertemu tatap muka dengan pembinanya. Haris menuturkan, sejumlah platform media sosial yang kerap dijadikan medium indoktrinasi serta rekrutmen teroris adalah Facebook dan Telegram.(jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi