jpnn.com, BALI - Task Force Energy, Sustainability and Climate Business 20 (TF ESC-B20) atau Satuan Tugas Energi, Keberlanjutan dan Perubahan Iklim dalam konferensi B20, berhasilkan menelurkan hasil nilai potensi proyek sebesar lebih dari USD 11,5 miliar.
Chairman TF ESC-B20, Nicke Widyawati mengatakan konferensi B20 merupakan diskusi untuk mencari solusi transisi energi berkelanjutan.
BACA JUGA: Pertamina Raih Penghargaan untuk Kontribusi Atasi Pandemi Covid-19Â
“Diskusi antara pemangku kepentingan dalam TF ESC-B20 memiliki tujuan untuk mencari implementasi paling realistis dari transisi energi yang berkelanjutan dengan konsep kemandirian energi,” kata Chairman TF ESC-B20, Nicke Widyawati.
B20 Summit berlangsung dari tanggal 13-14 November 2022, di Bali.
BACA JUGA: Catatkan Capaian Terbaik, Pertamina Terus Jalankan Proses Pengeboran Eksplorasi yang Masif
Tugas pertama yang harus dilakukan adalah percepatan penggunaan energi baru terbarukan di seluruh dunia.
Kedua adalah memastikan transisi energi yang adil dan terjangkau. Terakhir adalah meningkatkan kemanan energi.
BACA JUGA: Usung Konsep Baru, Pertamina Eco RunFest 2022 Siap Digelar
Dari tiga pembahasan utama tersebut memunculkan pembicaraan mengenai kerja sama global lintas negara yang lebih dikembangkan baik di negara maju serta berkembang.
TF ESC juga berperan sebagai katalisator dalam kerja sama global dengan capaian perjanjian kerja sama sebanyak 38 kesepatan dari lintas negara.
Sebanyak 11 negara setidaknya terlibat dalam proses “business action” dalam mewujudkan percepatan proyek rendah karbon dengan total nilai proyek lebih dari USD 11,5 miliar.
Tindakan implementasi lainnya adalah TF ESC sebagai ajang keselarasan bisnis secara global.
Sebanyak 12 peluang kerja sama lintas negara terwujud usai ajang B20 terselenggara.
Dari peluang kerja sama tersebut sebanyak 5 bisnis terjalin kesepatakan dalam ajang tersebut dalam upaya penurunan proyek rendah karbon.
Aksi bisnis lainnya yang tercapai adalah dua kolaborasi investasi bisnis terjalin dalam konferensi B20.
Secara umum TF ESC B20 berfungsi sebagai jembatan bagi negara yang ingin mencapai kesepakatan bersama pada isu transisi energi secara global.
Satuan tugas ESC B20 memberikan pemahaman kerja sama bagi negara yang tengah melalui masa transisi energi dengan negara yang memiliki sumber energi fosil melimpah, seperti Arab Saudi misalnya.
Upaya nyata dari TF ESC atas menjembatani pemahaman transisi energi adalah adanya pengembangan teknologi Carbon Captures Utilization Storage (CCUS).
CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) merupakan teknologi yang bias menangkap Karbon Dioksida yang telah terlepas ke atmosfer.
Sehingga energi bersih diupayakan bisa tercapai dengan langkah ini.
Selanjutnya, fungsi dan visi kedua adalahTF ESC sebagai akselerator/katalis untuk mewujudkan agenda-agenda global, misalnya NZE, transisi energi dan lainnya.
NET Zero Emission (NZE) atau netralitas karbon tahun 2060 menjadi agenda kerja dan proses berkelanjutan untuk transisi penggunaan energi.
Dari energi fosil yang polutif ke energi bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan hasil dari pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Menurut Nicke, Indonesia menjadi aktor utama penyelenggara perhelatan puncak Konferensi Tingkat Tinggi Government 20 (KTT-G20), Task Force Energy, Sustainability and Climate Business 20 (TF ESC-B20), dan siap mengawal 3 (tiga) rekomendasi utama yang membahas intensif oleh 152 peserta dari 25 negara perwakilan.
Tiga rekomendasi final dari TF ESC-B20 yang dimaksud yakni pertama, mempercepat transisi ke penggunaan energi berkelanjutan dengan mengurangi intensitas karbon dari penggunaan energi.
Kedua, memastikan transisi yang berkeadilan dan terjangkau dan ketiga, meningkatkan akses serta kemampuan konsumen untuk mengonsumsi energi bersih juga modern.
Wanita yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina (persero) menjelaskan poin utamanya adalah Indonesia mendukung dekarbonisasi industri akan mempercepat emisi nol bersih yang ditargetkan tahun 2060 atau lebih cepat.
Secara umum peserta B20 TF ESC berasal dari berbagai perusahaan belahan dunia.
Adapun peserta dari Indonesia antara lain Pertamina, Vale Indonesia, EMITS, Jababeka, WIKA, Pupuk Indonesia, Indonesia Stock Exchange, Grab Indonesia, Astra Agro Lestari, WIMA, Krakatau Steel, Unilever Indonesia, Badak NGL, Indonesia Battery Corp, L’oreal Indonesia, dan Hitachi Astemo Indo.
Sementara itu dari belahan Asia Timur dan Asia Tenggara adalah Japan (JBIC, NYK, Tepco, Inpex, Chiyoda, JOGMEC, Mitsubishi, MHI), China (Sepco, CATL, Zheijang Huayou Cobalt), Korea (KIS), serta Singapore (Ignis, Cobalt).
Salah satu kesepakatan kerja sama juga terjalin mengenai “Pra-Studi Kelayakan Terkait Pengembangan E-Methane” antara PT Pertamina dengan IHI Corp.
Kemudian dari Amerika Utara diikuti oleh Exxon mobil, Chevron dan Ormat.
Selanjutnya dari timur tengah Saudi Arabia (Saudi Aramco, ACWA Power), dan UAE (Masdar, ADNOC).
Tidak ketinggalan diikuti juga dari perusahaan asal benua biru Eropa, yaitu, Turkiye (BOTAS), Netherland (Pondera), Spain (Semba Corp), France (Sclhumberger).
Tiga rumusan dari TF ESC (mempercepat transisi ke penggunaan energy berkelanjutan dengan mengurangi intensitas karbon dari penggunaan energi, memastikan transisi yang berkeadilan dan terjangkau, serta meningkatkan akses) sejalan dengan fokus isu strategis Presidensi G20 dan target Sustainable Development Goals (SDGs).
Nicke sempat memberikan pesan secara lugas, mengemukakan bahwa upaya pencegahan pamasan global serta perubahan iklim, adalah hal yang sangat kompleks.
Upaya besar-besaran ini membutuhkan perubahan skala global, termasuk mengubah teknologi yang jamak, pasar keuangan dan produk, rantai pasokan, model bisnis, kerangka tata kelola serta pertimbangan ekonomi politik yang mengakar dengan baik.
Tidak kalah pentingnya agar transisi energi tidak menjadi hambatan bagi agenda pembangunan yang tengah dicanangkan di negara-negara berkembang dunia.
Ini adalah tantangan dan hal-hal yang menjadi pertimbangan dan tujuan dari Satuan Tugas Energi, Keberlanjutan dan Iklim.
Negara-negara maju lebih terdepan dalam transisi energi karena kekuatan kerangka pemerintahan, kapasitas kelembagaan, pengembangan pasar dan kapasitas keuangan.
Sementara negara berkembang kekurangan satu atau lebih kekuatan tersebut.
Nicke memberikan solusi peningkatan kerja sama global dalam pengembangan kapasitas serta menggandakan dukungan keuangan tahunan untuk negara-negara berkembang.
“Tanpa kolaborasi ini adalah tantangan berat bagi negara maju, dalam hal pendanaan transisi energi,” katanya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pertamina Beri Akses Energi Surya Hingga Jangkau Daerah Terpencil
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian