Rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir, terpidana kasus terorisme yang bertanggung jawab atas Bom Bali tahun 2002 telah membuat banyak warga Australia yang menjadi korban kecewa.
Sejumlah media di Australia telah melontarkan kritik atas pembebasan tersebut, sementara pengamat merasa hubungan Indonesia dengan Australia akan semakin tidak menentu.
BACA JUGA: Israel Lakukan Serangan Terhadap Posisi Iran di Suriah
Ba'asyir keluar penjara 6 tahun lebih awal dari vonis hukuman penjara 15 tahun, setelah diberi kebebasan tanpa syarat oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo mengatakan keputusan membebaskan Abu Bakar Ba'syir adalah murni atas dasar kemanusiaan.
BACA JUGA: Pria Tertua Di Dunia Masazo Nonaka Meninggal Di Usia 113 Tahun
"Beliau kan sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusian," kata Presiden Joko Widodo kepada sejumlah wartawan saat berkunjung ke Pondok Pesantren Darul Arqam di Jawa Barat. Kritikan keras di media masa Photo: Ba'asyir telah dianggap memenuhi syarat untuk dibebaskan setelah menjalani 2/3 hukuman dari vonisnya. (Reuters, Beawiharta)
BACA JUGA: Polisi Australia Bongkar Pencurian Susu Formula Untuk Dijual ke Pasar Gelap China
88 warga Australia tewas dalam serangan Bom Bali tahun 2002 dengan jumlah korban meninggal mencapai 202 orang, karenanya pembebasan Ba'asyir langsung menjadi sorotan media di Australia.
10 Daily, situs milik 10 Network memasang tajuk "Jika ada mencari keadilan, jangan mencarinya di Indonesia" menanggapi pembebasan Ba'asyir.
Dalam opininya yang dimuat hari Senin (21/01), editor Hugh Riminton mengatakan Ba'asyir membenci orang-orang Australia.
Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya jika setelah bebas, Ba'asyir malah akan kembali mendapat panggung dan meneruskan penyebaran ideologi Islam-nya.
Sementara harian 'The Australian', milik pengusaha media Rupert Murdoch, mengatakan keputusan ini sebagai langkah yang buruk bagi Indonesia dan bagi dunia dalam memerangi terorisme.
"Membuat senang golongan Islam ekstrimis jelang pemilihan presiden 17 April akan merusak catatan Jokowi sebagai pemimpin moderat," tulis harian tersebut dengan judul "Ba'asyir seharusnya tetap berada di balik jeruji".
Tapi pakar politik Islam dari Deakin University di Melbourne mengatakan Ba'asyir bukanlah lagi sosok dengan ancaman signifikan saat ini.
"Cara terbaik untuk menggambarkan Ba'asyir adalah sosok yang sudah tidak dianggap lagi dan menyedihkan," ujar Professor Greg Burton kepada ABC News.
"Menyedihkan disini karena ia tidak lagi memiliki karisma dan tidak lagi mengendalikan orang-orang."
"Tapi yang terpenting, ia menyedihkan karena sebelumnya ia sangat terbuka mengajak orang-orang untuk terlibat jihad, tapi menolak bertanggung jawab secara moral," tambahnya.Korban selamat Bom Bali kecewa Photo: Jan Laczynski kehilangan lima temannya saat terjadinya serangan bom Bali di tahun 2002. (Foto: SBS)
Sejumlah warga Australia yang menjadi korban, atau keluarga dan temannya tewas dalam serangan, telah menyampaikan rasa kekecewaannya atas keputusan pemerintah Indonesia.
Bahkan ada pula yang tidak menyangka jika pemerintah Indonesia akan membebaskan Ba'asyir lebih awal dengan begitu saja.
"Seperti tamparan bagi banyak waga Australia yang masih terluka dan masih memulihkan diri," kata Jan Laczynski kepada sejumlah media di Australia.
Jan adalah seorang Australia yang kehilangan lima temannya saat mereka sedang berada di Sari Club Bali, tahun 2002 lalu.
"Ba'asyir akan terus menjalankan kehidupannya, sementara orang-orang akan menderita melihatnya keluar dari penjara," tambahnya.Masa depan hubungan Australia dan Indonesia Photo: PM Australia Scott Morrison pernah bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada akhir Agustus 2018 di Istana Bogor. (AAP: Lukas Coch)
Sementara itu, Indonesia Institute, lembaga kajian Indonesia yang berbasis di Perth, Australia Barat, menilai keputusan Presiden Joko Widodo memiliki alasan politik dan hukum.
"Ini menjadi kesempatan politik bagi Jokowi yang sangat sadar pentingnya mendapatkan suara dari golongan konservatif, hal sama juga terjadi di Australia," ujar Ross Taylor, presiden Indonesia Institute.
"Sementara secara hukum, Ba'asyir sudah memenuhi syarat untuk dibebaskan lebih awal, seperti pada kasus Schapelle Corby," tambah Ross saat dihubungi Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
Tetapi menurut Ross, saat mengambil keputusan membebaskan Ba'asyir, Presiden Joko Widodo tidak menganggapnya sebagai sebuah masalah bagi Australia.
"Dalam era kepemimpinannya, hubungan Australia tidaklah dalam benaknya dan tidak relevan," jelas Ross.
Sebaliknya, saat berencana memutuskan kantor perwakilannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalam, Australia pun "tak menjaga perasaan Indonesia".
Tapi Ross mengatakan sikap Presiden Joko Widodo untuk membebaskan Ba'asyir tidak ada kaitannya sebagai balasan untuk keputusan Australia memindahkan kantor perwakilan Israel.
"Ini hanya menunjukkan bahwa saat ini tidak ada hubungan diantara kedua pemimpin dua negara saat ini."
Menurutnya, kesepakatan perdagangan Indonesia dan Australia yang terus tertunda tidak akan tercapai, setidaknya hingga bulan September atau Oktober mendatang.
"Indonesia akan memilih presiden baru, sementara Australia juga akan melaksanakan pemilu, jadi hubungan keduanya baru akan dijajaki kembali dibawah dua pemerintahan yang baru," jelasnya.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Rapor Indonesia Soal Hak Asasi di 2018 Menurut Human Right Watch