JAKARTA--Kebijakan menaikkan harga BBM seperti pisau bermata dua bagi citra Presiden SBY dan Partai Demokrat di mata publik. Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny J.A. terakhir mengungkap, meski penolakan masyarakat tinggi terhadap kebijakan tersebut, pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai turunan juga memiliki potensi meningkatkan electoral yang luar biasa.
Berdasar hasil survei, terungkap bahwa publik yang kurang/tidak setuju sama sekali dengan adanya BLSM hanya 29,12 persen. Jumlah yang cukup setuju/sangat setuju mencapai 58,92 persen. Sisanya, sebanyak 11,96 persen, menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
"Relatif masih angka aman. Publik yang tidak setuju BLSM masih di bawah 30 persen," ujar peneliti LSI Adjie Alfaraby saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor LSI Jakarta, Minggu (23/6). Dia menyatakan, mayoritas masyarakat yang setuju program pemberian uang tunai Rp 150 ribu per bulan kepada warga miskin seperti BLT pada 2008 itu tentu saja merupakan potensi electoral positif.
Survei juga berusaha menemukan tokoh yang dianggap paling berjasa dan berperan mendorong penerapan BLSM. Hasilnya, mayoritas publik masih menempatkan Presiden SBY di posisi teratas.
Sebanyak 46,95 persen responden menganggap SBY paling berjasa. Di bawahnya dengan besaran angka yang terpaut cukup jauh, muncul nama Menko Ekonomi Hatta Rajasa dengan 11,47 persen. Berturut-turut kemudian Menko Kesra Agung Laksono (10,75 persen), Menteri ESDM Jero Wacik (1,79 persen), dan tokoh lainnya (3,58 persen). Yang menjawab tidak tahu/tidak jawab sebanyak 25,45 persen.
Nasib yang sama dialami Partai Demokrat. Partai yang dikomandani SBY itu dianggap paling berjasa mendorong diterapkannya BLSM. Penilaian tersebut disematkan 49,45 persen masyarakat. Sementara itu, partai-partai lainnya di luar Demokrat hanya 16,73 persen. Sisanya, sebanyak 33,82 persen, menyatakan tidak tahu/tidak jawab. "Jika BLSM disalurkan, pamor Demokrat lah yang paling bersinar menutup pamor partai politik lainnya yang juga terlihat mendukung BLSM," tegas Adjie.
Menurut dia, jika Demokrat mampu me-maintenance dengan baik situasi saat ini, program BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bisa sangat berpengaruh terhadap electoral Demokrat pada 2014. Dia lalu mengingatkan fenomena yang sama saat Pemilu 2009. Sekitar setahun sebelumnya, pada 2008, pemerintah juga menaikkan harga BBM yang disertai dengan pemberian BLT. "Diakui atau tidak, sangat dahsyat efek BLT waktu itu," ucap Adjie.
Dia memperkirakan, seperti fenomena 2008, pemberian BLSM jika diolah dengan baik juga mampu menutup penolakan awal mayoritas publik terhadap kebijakan menaikkan harga BBM. "Dari sejumlah hasil survei kami selama ini, menaikkan harga BBM memang "musibah politik" bagi pihak yang dianggap bertanggung jawab. Tapi, memberi kompensasi berupa uang tunai adalah "berkah" bagi yang dianggap berjasa," papar Adjie.
Di bagian lain, survei juga mengungkap bahwa 79,21 persen publik kurang setuju/tidak setuju sama sekali harga BBM naik. Hanya 19,10 persen yang menyatakan cukup setuju/sangat setuju. Selebihnya, 1,69 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
Lebih lanjut, masih berdasar hasil survei, Presiden SBY menjadi pihak yang paling dipersalahkan atas kenaikan harga BBM tersebut. Yaitu, oleh 44,52 persen publik. Baru di bawahnya berturut-turut DPR (26,03 persen), menteri ESDM (7,88 persen), menteri keuangan (3,08 persen), lainnya (3,42 persen), dan tidak tahu/tidak jawab (15,07 persen).
Dari sisi partai politik, Partai Demokrat juga yang paling disalahkan publik (58,62 persen) atas kenaikan harga BBM. Total partai-partai lainnya hanya 15,52 persen dan sisanya, sebanyak 25,86 persen responden, menyatakan tidak tahu/tidak jawab. "Seperti halnya pihak yang paling berjasa, walaupun sejumlah partai lain getol ikut mendukung, tapi juga tidak terlalu dipersalahkan". (dyn/c6/fat)
Berdasar hasil survei, terungkap bahwa publik yang kurang/tidak setuju sama sekali dengan adanya BLSM hanya 29,12 persen. Jumlah yang cukup setuju/sangat setuju mencapai 58,92 persen. Sisanya, sebanyak 11,96 persen, menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
"Relatif masih angka aman. Publik yang tidak setuju BLSM masih di bawah 30 persen," ujar peneliti LSI Adjie Alfaraby saat memaparkan hasil survei lembaganya di Kantor LSI Jakarta, Minggu (23/6). Dia menyatakan, mayoritas masyarakat yang setuju program pemberian uang tunai Rp 150 ribu per bulan kepada warga miskin seperti BLT pada 2008 itu tentu saja merupakan potensi electoral positif.
Survei juga berusaha menemukan tokoh yang dianggap paling berjasa dan berperan mendorong penerapan BLSM. Hasilnya, mayoritas publik masih menempatkan Presiden SBY di posisi teratas.
Sebanyak 46,95 persen responden menganggap SBY paling berjasa. Di bawahnya dengan besaran angka yang terpaut cukup jauh, muncul nama Menko Ekonomi Hatta Rajasa dengan 11,47 persen. Berturut-turut kemudian Menko Kesra Agung Laksono (10,75 persen), Menteri ESDM Jero Wacik (1,79 persen), dan tokoh lainnya (3,58 persen). Yang menjawab tidak tahu/tidak jawab sebanyak 25,45 persen.
Nasib yang sama dialami Partai Demokrat. Partai yang dikomandani SBY itu dianggap paling berjasa mendorong diterapkannya BLSM. Penilaian tersebut disematkan 49,45 persen masyarakat. Sementara itu, partai-partai lainnya di luar Demokrat hanya 16,73 persen. Sisanya, sebanyak 33,82 persen, menyatakan tidak tahu/tidak jawab. "Jika BLSM disalurkan, pamor Demokrat lah yang paling bersinar menutup pamor partai politik lainnya yang juga terlihat mendukung BLSM," tegas Adjie.
Menurut dia, jika Demokrat mampu me-maintenance dengan baik situasi saat ini, program BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bisa sangat berpengaruh terhadap electoral Demokrat pada 2014. Dia lalu mengingatkan fenomena yang sama saat Pemilu 2009. Sekitar setahun sebelumnya, pada 2008, pemerintah juga menaikkan harga BBM yang disertai dengan pemberian BLT. "Diakui atau tidak, sangat dahsyat efek BLT waktu itu," ucap Adjie.
Dia memperkirakan, seperti fenomena 2008, pemberian BLSM jika diolah dengan baik juga mampu menutup penolakan awal mayoritas publik terhadap kebijakan menaikkan harga BBM. "Dari sejumlah hasil survei kami selama ini, menaikkan harga BBM memang "musibah politik" bagi pihak yang dianggap bertanggung jawab. Tapi, memberi kompensasi berupa uang tunai adalah "berkah" bagi yang dianggap berjasa," papar Adjie.
Di bagian lain, survei juga mengungkap bahwa 79,21 persen publik kurang setuju/tidak setuju sama sekali harga BBM naik. Hanya 19,10 persen yang menyatakan cukup setuju/sangat setuju. Selebihnya, 1,69 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
Lebih lanjut, masih berdasar hasil survei, Presiden SBY menjadi pihak yang paling dipersalahkan atas kenaikan harga BBM tersebut. Yaitu, oleh 44,52 persen publik. Baru di bawahnya berturut-turut DPR (26,03 persen), menteri ESDM (7,88 persen), menteri keuangan (3,08 persen), lainnya (3,42 persen), dan tidak tahu/tidak jawab (15,07 persen).
Dari sisi partai politik, Partai Demokrat juga yang paling disalahkan publik (58,62 persen) atas kenaikan harga BBM. Total partai-partai lainnya hanya 15,52 persen dan sisanya, sebanyak 25,86 persen responden, menyatakan tidak tahu/tidak jawab. "Seperti halnya pihak yang paling berjasa, walaupun sejumlah partai lain getol ikut mendukung, tapi juga tidak terlalu dipersalahkan". (dyn/c6/fat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pilih Nomor Lima Agar Mudah Dikenal di Tapal Kuda
Redaktur : Tim Redaksi