jpnn.com, JAKARTA - Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), menyoroti pernyataan Presiden Jokowi yang menyerukan agar masyarakat bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme, pascainsiden penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10).
Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI, Chandra Purna Irawan mengatakan, apabila seruan presiden soal memerangi radikalisme dan terorisme dikaitkan dengan pelaku penyerangan terhadap Wiranto, hal itu menurutnya tidak tepat.
BACA JUGA: Wiranto Ditusuk, PDIP Minta Hankamrata Digelorakan Kembali
"Apakah sudah ada proses pembuktian bahwa pelakunya adalah terpapar radikal? Apa yang dimaksud radikal? Hingga saat ini tidak terdapat defenisi kongkret dan atau unsur-unsur apa saja yang dapat disebut radikal berdasarkan peraturan perundang-undangan?" ucap Chandra, Minggu (13/10).
Sementara itu, lanjutnya, terdapat berita yang menyatakan bahwa pelaku penusukan Menko Polhukam Wiranto, Syaril Alamsyah merupakan korban penggusuran proyek pembangunan Tol Trans Sumatera yang digencarkan Presiden Jokowi.
BACA JUGA: SBY Belum Jenguk Wiranto, Syarief Hasan Bilang Begini
"Apabila motif yang dilakukan pelaku adalah sakit hati karena rumahnya tergusur, maka pernyataan presiden terkait memerangi radikalisme dapat dinilai tergesa-gesa dan dapat dinilai sedang membangun narasi," tutur Sekjen LBH Pelita Umat ini.
Chandra menyebutkan, pernyataan presiden terkait memerangi radikalisme, dikhawatirkan berpotensi terjadinya stigmatisasi dan persekusi terhadap seseorang yang dinilai berseberangan karena mengkritik kebijakan pemerintah. Misalnya terdapat mahasiswa yang di DO, atau dosen diberhentikan atau dipecat atas tuduhan radikal.
BACA JUGA: Dikabarkan Terkait Paham Radikalisme, Begini Respons Universitas Mathlaâul Anwar Banten
Pihaknya menuturkan bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga perlu terdapat kepastian hukum agar seseorang tidak mudah distigmatisasi dan dipersekusi. "Sehingga seruan memerangi radikalisme yang disampaikan Presiden Jokowi sangat disayangkan karena dapat dinilai sebagai seruan yang tidak memiliki dasar hukum," kata Chandra.
Pendapatnya itu didasarkan pada alasan bahwa hingga saat ini tidak terdapat defenisi konkret dan atau unsur-unsur apa saja yang dapat disebut radikal berdasarkan peraturan perundang-undangan? Dan tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa radikal termasuk perbuatan yang dapat dipidana.
"Apabila seruan presiden misalnya mari perangi terorisme dan atau mari perangi narkotika, maka seruan tersebut memiliki dasar hukumnya. Sementara radikalisme (apa dasarnya)?" tandas Chandra.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam