Awal pekan ini, sebuah petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 1,8 juta orang yang menyerukan adanya referendum kemerdekaan di Papua Barat telah diserahkan kepada Kepala Komisi HAM PBB Michelle Bachelet. Permasalahan Papua Barat
Benny Wenda, ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), lembaga yang memayungi banyak organisasi yang menghendaki kemerdekaan Papua dari Indonesia mengatakan dia berharap PBB akan mengirimkan misi pencari fakta ke sana guna menyelidiki laporan pelanggaran HAM.
BACA JUGA: Partai Prof Yusril Gelar Rakornas untuk Resmikan Dukungan ke Jokowi
"Hari ini adalah hari bersejarah bagi saya dan bagi warga saya." Wenda setelah pertemuan di Jenewa. Photo: Benny Wenda, juru bicara internasional ULMWP. (Reuters: Tom Miles)
"Saya menyerahkan tulang-tulang rakyat Papua Barat, karena sudah begitu banyak orang yang terbunuh."
BACA JUGA: Yusril Umumkan Sikap Politik PBB Akhir Januari
Di Indonesia dalam reaksinya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu setelah pertemuan dengan anggota DPR mengatakan "Dan saya tegaskan lagi, apa pun yang mereka katakan, Papua Barat tak boleh merdeka."
Untuk menyegarkan ingatan, mari kita lihat kembali apa yang sedang menjadi masalah di Papua Barat, dan bagaimana kemungkinan pemecahan masalahnya di masa depan.
BACA JUGA: Kasus Penculikan Aktivis 98 Harus Segera Dituntaskan
Papua Barat dan Papua Nugini, apa bedanya? Photo: Dua provinsi di Papua sekarang, Papua Barat dan Papua, di dunia internasional dikenal dengan Papua Barat. (ABC News: Jarrod Fankhauser)
Papua Barat dan Papua yang di dunia internasional biasa disebut Papua Barat adalah provinsi paling timur Indonesia, dan masuknya wilayah tersebut ke dalam Indonesia sudah menjadi bagian dari kontroversi selama 60 tahun terakhir.
Papua Barat memiliki perbatasan dan kesamaan etnis dengan Papua Nugini (PNG), namun PNG sebelumnya dikuasai oleh Inggris, sebelum kemudian oleh Jerman dan Australia.
Sementara itu, Papua Barat dikuasai oleh Belanda.
Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia dan Bank Dunia, pendapatan GDP Papua Barat lebih tinggi dari rata-rata nasional Indonesia karena tingginya penghasilan dari bidang pertambangan.
Namun kawasan itu masih merupakan yang paling miskin di kawasan, dengan tingginya angka kematian bayi dan ibu, dan juga tingkat kemelekan huruf masih rendah. Apa yang terjadi dan bagaimana sejarah masa lalu? Photo: ukSeorang aktivis Papua dengan lukisan bendera Bintang Kejora di dahinya dalam aksi di Surabaya tanggal 1 Desember 2018. (AP: Trisnadi)
Penguasaan Papua Barat diserahkan ke Indonesia dari Belanda dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat sebagai bagian dari strategi Perang Dingin AS yang ingin menjauhkan Indonesia dari pengaruh Soviet di tahun 1962.
Sebelum itu, Australia juga mendukung usaha Papua Barat untuk merdeka, namun kemudian menarik diri setelah mengikuti pandangan keamanan Perang Dingin guna menurunkan kemungkinan tidak stabilnya kawasan. Photo: Protest di luar kedutaan Indonesia di Canberra di tahun 2016. (Facebook: Lewis Prai Wellip)
Belanda dan Indonesia menandatangani Perjanjian New York yang menempatkan Indonesia sebagai Otoritas Eksekutif Sementara PBB sampai referendum diadakan yang akan mengijinkan seluruh warga Papua Barat memutuskan apakah ingin merdeka atau tidak, yang dsebut sebagai Act of Free Choice.
Tetapi di tahun 1967, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian selama 30 tahun dengan perusahaan tambang emas dan biji besi Amerika Serikat Freeport-McMoran untuk memulai pertambangan di sana, sebelum referendum dilakukan.
Dua tahun kemudian, menurut sejarahwan, sejumlah warga pria di Papua Barat dipilih oleh militer Indonesia dan kemudian memilih untuk tetap berada di bawah pemerintahan Indonesia.
Tindakan itu kemudian dikenal dengan sebutan "Act of No Choice" oleh para pegiat. External Link: benny wenda twitter
Indonesia sejak itu berulang kali menolak laporan bahwa adanya pelanggatran HAM di kawasan tersebut dan desakan bagi adanya referendum lagi, dan mengatakan tuduhan itu disebarkan oleh 'gerakan separatis Papua."
"Provinsi Papua dan Papua Barat … akan selalu menjadi bagian dari negara kesatuan Indonesia."kata diplomat Indonesia Ainan Nuran di sidang Dewan Keamanan PBB tahun 2017.
Konflik senjata kadang terjadi.
Bulan Desember lalu, polisi Indonesia mengatakan pendukung kemerdekaan Papua membunuh 19 pekerja yang sedang membangun jalan di sana.
Hari Senin, militer Indonesia mengatakan kelompok separatis melancarkan tembakan ke arah pesawat yang membawa anggota TNI dan pejabat setempat, dan menewaskan seorang tentara.
Namun sulit untuk memverifikasi kebenaran kejadian ini karenanya terbatasnya laporan media yang bebas dari kawasan dan juga terpencilnya medan kejadian.
Di tahun 2015, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Papua akan terbuka bagi wartawan asing setelah sebelumnya tertutup selama puluhan tahun, namun laporan dari wartawan asing belakangan menunjukan situasi tidak berubah banyak. Pembasmian kultural' atau klaim berlebihan dari separatis? Photo: Polisi dan petugas keamanan di dekat kendaraan yang dibakar dalam kasus unjuk rasa oleh karyawan Freeport di Papua tahun 2017. (Reuters: Muhammad Yamin)
Sebuah laporan dari Fakultas Hukum Yale (sebuah univeristas ternama di AS) di tahun 2004 mengatakan pemerintah Indonesia 'telah bertindak dengan niat untuk melakukan pembasmian terhadap warga Papua Barat, pendapat yang ditentang keras oleh pemerintah Indonesia.
Para pegiat di Papua dipenjara hanya karena mengibarkan Bendera Bintang Kejora, simbol pro kemerdekaan Papua Barat dan merngatakan mereka menghadapi diskriminasi dan sering menjadi sasaran kekerasan karena menyampaikan pendapat politik mereka.
Mereka juga menghadapi sasaran penumpasan oleh militer yang digambarkan oleh lembaga HAM Human Rights Watch sebagai kasus pelanggaran HAM 'prioritas tinggi".
Jumlah perlawanan di kawasan menurun, karena jumah penduduk asli Papua menurun karena adanya program transmigrasi.
Pegiat dan akademisi Papua Barat yang sudah meninggal John Otto Ondawame menggambarkan situasi ini sebagai 'pembasmian kultural". Bagaimana kelanjutannya sekarang? Photo: Polisi Indonesia menjaga keamanan di sekitar lokasi tambang emas dan biji besi Freeport di Timika. (Reuters: Muhammad Yamin )
Sulit dikatakan.
Di tahun 2017, Benny Wenda mengatakan dia sudah menyerahkan petisi yang sama yang ditandatangani 1,8 juta orang kepada Komisi Khusus PBB Untuk Dekolonisasi, namun tidak jelas apakah komite tersebut benar-benar menerima dokumen petisi.
Sekarang, Wenda yang didampingi oleh delegasi dari Vanuatu di Jenewa, dan dilaporkan menyerahkan dokumen petisi kepada Komisi HAM PBB dan bukannya komite dekolonisasi.
Kepada ABC, Wenda mengatakan dia berharap petisi baru ini yan diberikan kepada komisi lain di PBB akan memberikan dampak yang berbeda.
"Kami berharap bahwa dia akan memberikan petisi itu kepada Sekjen PBB untuk mengkaji lagi referendum tahun 1969 dan memberikan kesempatan kepada warga Papua Barat menentukan nasib sendiri."
Namun pejabat Istana Kepresidenan Indonesia mengatakan minggu ini bahwa "PBB akan menghormati kedaulatan wilayah Indonesia."
Di masa lalu, ULMWP, dan pegiat internasional lainnya sudah menyerukan kepada PBB untuk mengkaji lagi referendum 1969 dan menyelidiki mengenai pelanggaran HAM di kawasan.
Permintaan itu berulangkali ditolak PBB dan Indonesia tetap menjadi penguasa di kawasan tersebut. Video: Five key things to know about West Papua (ABC News)
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini
ABC/Wires
BACA ARTIKEL LAINNYA... Moeldoko: Kasus Novel Bukan Pelanggaran HAM