Bagaimana Memenangkan Penantang Ahok?

Oleh Zaenal A Budiyono*

Kamis, 22 September 2016 – 12:01 WIB
Basuki T Purnama alias Ahok. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - PENDAFTARAN calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta tinggal menghitung hari, bahkan jam. Sampai saat ini baru pasangan Basuki T Purnama (Ahok) dan Djarot S Hidayat yang resmi mendaftar ke KPUD DKI Jakarta.

Duet petahana itu itu didukung PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura dengan kekuatan 52 kursi dari 106 kursi di DPRD DKI Jakarta. Namun, perhatian publik Jakarta justru tertuju pada siapa yang akan menjadi penantang serius bagi duet yang dikenal dengan sebutan Ahok-Djarot itu.

BACA JUGA: Putra SBY Bakal Tantang Ahok? PKB: Masih Dimatangkan

Selama ini duet Ahok-Djarot memang unggul dalam berbagai survei. Namun, bukan tidak mugkin peluang menang bagi kompetitornya tertutup sama sekali. Pasalnya politik di era demokrasi terbuka seperti saat ini lebih banyak ditentukan oleh persepsi voters yang didukung saluran informasi (media).

Tak jarang calon yang awalnya inferior, tiba-tiba menyalip di tikungan bila bisa memanfaatkan momentum dan mampu menangkap keresahan voters. Namun di atas semuanya, track record dan program kerja calon tetap yang utama sebagai “jualan” di masyarakat.

BACA JUGA: Unik, Diarak Ribuan Pendukung, Paslon Ini Mendaftar Naik Andong

Lantas, bagaimana pasangan penantang Ahok–Djarot bisa memaksimalkan peluang dan menang? Pertama, para elite di Koalisi Kekeluargaan harus secepatnya menemukan konsensus untuk hanya mengusung satu pasangan calon.

Dengan demikian, bergabungnya Gerindra, PKS, Demokrat, PPP, PKB dan PAN secara psikologi politik akan membuat pasangan yang diusung nanti merasa percaya diri. Total kursi dari keenam partai tersebut sekitar 54 kursi—atau lebih dua kursi dari calon PDIP dan koalisinya.

BACA JUGA: Tiga Paslon Resmi Mendaftar

Hanya saja kebiasaan elite di negeri ini sulit sekali mencapai kata sepakat, terutama kerelaan untuk mengalah demi menghasilkan calon yang terbaik dan berpeluang menang. Terbaik dalam arti memiliki kapasitas dan program nyata sebagai pemimpin Ibukota.

Sedangkan berpeluang menang tentunya dikenal masyarakat. Bila hanya sisi terbaik dari kandidat saja yang dikejar, maka itu seperti berdiri di menara gading, tidak melihat realitas pemilihan serentak yang direct election.

Oleh karenanya, publik menunggu sosok yang akan diusung untuk menantang Ahok-Djarot. Publik tentu menanti apakah tokoh-tokoh besar sekelas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Prabowo Subianto dan lain-lain mampu mencapai konsensus demi menghadirkan lawan tangguh bagi incumbent.
 
Kedua, dari sekian nama yang muncul di bursa cagub di Koalisi Kekeluargaan, tampaknya hanya ada dua nama yang memiliki kriteria terbaik dan berpeluang menang pada pilkada mendatang. Nama tersebut adalah Yusril Ihza Mahendra dan Anies Baswedan.

Yusril dengan latar belakang dan kapasitasnya sepertinya tak akan sulit meladeni Ahok saat debat kandidat mendatang. Kekurangan Yusril hanya pada akseptabilitas dan elektabilitas di publik yang masih kurang. Indikasinya jelas, Partai Bulan Bintang (PBB) yang dipimpinnya gagal menembus ambag batas pemilihan (electoral threshold) dalam beberapa kali pemilu terakhir.

Sementara Anies Baswedan dikenal sebagai intelektual unggul yang secara kapasitas juga tidak diragukan. Popularitas Anies juga lumayan, karena ia sudah lama dikenal publik.

Tapi ada satu kekurangannya (leability). Yakni saat terkena reshuffle dari Kabinet Kerja belum lama ini, sehingga menimbulkan spekulasi ia kurang perform dalam memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, setidaknya di mata Presiden Joko Widodo.

Namun sekali lagi, politics is about perception. Politik berarti persepsi.

Bila Anies bisa mengolah kelemahannya sedemikian rupa, bisa jadi momen saat mantan rektor Paramadina itu terlempar dari Kabinet Kerja justru menjadi keuntungan. Ini merujuk pada teori bahwa pemilih di Indonesia masih menyukai orang-orang yang ‘terzalimi’. Apa yang pernah dialami SBY dan Jokowi juga masih meneguhkan teori itu berlaku.

Ketiga, mesin partai harus bekerja optimal. Dalam banyak kasus, koalisi besar kerap kesulitan mengonsolidasikan diri sehingga menjadikannya lamban bergerak dan minim manuver.

Munculnya fenomena relawan di Pilpres dan Pilkada menunjukkan mesin partai tidak berjalan optimal. Bahkan ada idiom bahwa partai hanyalah gerbong kereta yang kosong, sementara penumpangnya (pemilih) berada di luar kereta itu.

Demi penguatan dan institusionalisasi demokrasi ke depan, partai harus menjadi kekuatan utama dalam menjual pasangannya ke publik. Sebab, partai secara infrastruktur telah memiliki jaringan, sehingga tinggal dibutuhkan sistem yang tepat untuk mendirigeni gerbong-gerbong partai berjalan searah dan saling menguatkan.

Kini, patut kita tunggu apakah para elite di Koalisi Kekeluargaan bisa menemukan konsensus untuk menghadirkan sosok terbaik bagi rakyat Jakarta. Bila gagal dan pilkada diikuti tiga pasangan, peluang Ahok–Djarot untuk menang makin besar karena suara pemilih akan terpecah.

Selain itu, pasangan calon yang maju pilkada dengan dukungan terbatas (baca: pas-pasan, red) secara psikologi merasa inferior dan membuatnya sulit melakukan “serangan politik yang akurat” ke incumbent.

Padahal sebagai contander bagi incumbent, tak ada track record yang bisa dijual ke publik. Satu-satunya cara untuk melawan incumbent adalah dengan menemukan celah-celah kelemahan kebijakan petahana dan menawarkan solusi alternatif yang lebih baik.(*****)

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), pengajar di FISIP Universitas Al Azhar Indonesia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hari Pertama Sepi Pendaftar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler