MAKASSAR - Pelarangan ekspor rotan asalan, mentah, dan rotan setengah mulai 1 Januari 2012 tidak saja mendapat penentangan. Imbas dari pelarangan itu mulai membawa dampak di lapangan dengan kelangkaanbahan baku rotan dari daerah penghasil ke industri.
Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI), Sabar Nagarimba di sela-sela pertemuan Asosiasi Industri Permebelan & Kerajinan Indonesia (ASMINDO) yang digelar di Hotel Santika mengungkapkan, kelangkaan rotan di lapangan dipicu banyak faktor. Salah satu penyebab regulasi pemerintah yang melarang macam-macam membuat petani dan pedagang dan pengumpul meninggalkan bisnis rotan.
"Bagi kami pemerintah ini terlalu arogan. Mereka mengambil kebijakan pelarangan eskpor dan aturan lainnya tanpa menerima masukan dari pelaku rotan. Padahal yang mendorong regulasi ini sama sekali tidak mengerti tentang usaha rotan," kata Sabar.
Karena itu, kata dia, kalangan dunia usaha jadi bertanya-tanya mengapa pemerintah begitu ngotot melakukan hal ini dan tidak memperdulikan penghidupan masyarakat yang ada di 9.248 desa dengan jumlah penduduk 17,9 juta yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan.
"Sekarang kita mau beli rotan sudah tidak ada di lapangan. Kenapa tidak ada rotan, karena petani sudah tidak mau ambil. Untuk apa ambil kalau ditangkap. Jadi ini merugikan petani sendiri," jelasnya.
Dia pun menjelaskan, alasan penentangan APRI terhadap sejumlah kebijakan pemerintah karena tidak cermat mengatur tata niaga sebelum melakukan pelarangan. Terjadi kekosongan dan kelangkaan bahan baku dan industri kini menjerit. "Kita tidak minta buka eskpor. Tapi kita minta atur kembali tata niaga rotan. Kalau ini berlangsung lama akan membawa dampak serius bagi kehidupan jutaan masyarakat yang terlibat dalam produksi dan pengolahan rotan, baik di daerah penghasil bahan baku maupun di daerah sentra produksi barang jadi," tukasnya.
Ketua ASMINDO, Ambar Tjahyono juga tampil sebagai pembicara mengungkapkan, seharusnya pemerintah "positif thingking" memperlakukan para pelaku usaha rotan. Bagi Ambar pelarangan ekspor tak masalah, namun dengan berbagai macam aturan yang diberlakukan jangan membuat pengusaha seolah pelaku penyelundup.
"Permendag No. 36/2011 yang mengharuskan dilakukan verifikasi oleh surveyor (PT Sucifindo, red) dengan salah satu alasan menghidari penyeludupan. Verifikasi itu merupakan penambahan prosedur yang justru menghambat distribusi rotan dalam negeri. Kan sudah ada Permenhut 55/2006. Selama ini Permenhut 55/2006 ini menjadi pedoman. Pemerintah harus tahu bahwa distribusi rotan di Indonesia umumnya dilakukan pedagangan pengumpul dalam hal ini tidak dilengkapi hak izin usaha," jelasnya.
Karena itu kata Ambar, Harusnya pemerintah membuat regulasi yang melindungi di sektor hulu, petani dan pedagang. "Kalau pengusaha tidak masalah. Tapi keluhan kita karena tidak mendapat suplai bahan baku," tambahnya.
Dampak lain dari kebijakan pemerintah yakni, industri mebel rotan mulai beralihnya penggunaan bahan baku dari rotan asli ke rotan sintetis (rotan plastik) dan itu didominasi importir. "Kebijakan buka tutup ini kurang menguntungkan. Silahkan pemerintah memberi proteksi kepada industri hilir agar mereka bisa tumbuh dan berkembang, namun bentuk proteksi tersebut jangan balik menghancurkan nilai ekonomis komoditi rotan," ungkapnya. (aci)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Praktek Perbankan Dinilai Mirip Rentenir
Redaktur : Tim Redaksi