jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah pusat memastikan tidak akan memberikan ruang bagi dilakukannya bargaining politik terkait pembahasan lanjutan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang bendera Aceh.
Kepala Biro Hukum Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, dalam pertemuan lanjutan kedua pihak yang akan dilakukan pekan ini, pemerintah pusat akan meminta materi klarifikasi terhadap poin-poin yang dikoreksi pusat, terkait bendera Aceh.
BACA JUGA: Kemendagri: Bendera Aceh Tidak Boleh Berkibar
"Karena belum selesai klarifikasi itu. Itu nanti yang akan kita bahas dalam pertemuan," ujar Zudan kepada JPNN di Jakarta, kemarin (14/4).
Dipastikan, pertemuan hanya membahas soal bendera, tidak bersamaan dengan pebahasan soal Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Aceh. Seperti diketahui, pembahasan RPP ini masih alot terkait persentase bagi hasil antara pusat dan daerah. Terutama terkait pembagian hasil pengelolaan minyak lepas pantai di atas 12 mil.
BACA JUGA: Sudi Tepis Tudingan Keterlibatan Menantu di Proyek Hambalang
Sebelumnya, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, soal batas kewenangan wilayah laut ini belum tercapai kesepakatan.
"Persoalan batas itu di Undang-Undang (Nomor 32 Tahun 2004) tidak memungkinkan lebih dari 12 mil, tetapi mereka minta lebih. MoU Helsinki juga menyebutkan kalau laut teritorial itu di sekitar Aceh, berarti ya 12 mil," ujar Djohermansyah Djohan.
BACA JUGA: Sanksi Buat SDA Masih Mengambang
Sementara, soal Bendera Aceh, Zudan Arief mengatakan, dalam Qanun tersebut Pemerintah NAD ingin menggunakan simbol bulan, bintang, dan garis hitam dengan warna dasar merah pada bendera daerah, yang menyerupai bendera GAM.
"Kalau, misalnya, garis hitam dihilangkan tidak masalah karena sudah tidak seperti bendera GAM," kata Zudan.
Bagaimana jika Aceh mau menghilangkan garis hitam itu, dengan syarat bisa mendapat bagi hasil migas di area lebih 12 mil?
Zudan menegaskan, tidak ada bargaining seperti itu. "Tidak ada bargaining. Kita ikuti aturan saja," cetus birokrat bergelar profesor itu.
Sebelumnya, Pengamat politik dan konflik dari Universitas Esa Unggul, Jakarta, Prof Erman Anom menilai, pembentukan qanun itu hanya strategi para elit di Aceh untuk menekan Jakarta. Tujuannya, agar Jakarta mau segera merealisasikan seluruh poin-poin di MoU Helsinki dan di UU Pemerintahan Aceh.
"Qanun itu hanya alat untuk bargaining dengan pusat, untuk membangun deal-deal, untuk menekan agar hak-hak istimewa Aceh seperti tertuang di MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh segera diwujudkan," terang Erman, Guru Besar kelahiran Arun, Aceh, beberapa waktu lalu.
Bagaimana dengan ending dialog antara tim pusat dengan tim Aceh nantinya? Erman yakin, Aceh yang akhirnya 'memenangkan' proses dialog. Ini sudah terlihat sejak awal, dimana pusat 'terjebak' oleh kepiawaian elit Aceh.
Para elit Aceh sengaja mencantumkan sejumlah substansdi di qanun yang nantinya diyakini bakal ditolak pusat, seperti menyantumkan MoU Helsinki sebagai salah satu dasar hukum pembentukan qanun, juga adzan yang mengiringi pengibaran bendera.
Benar, dua poin itu langsung diminta dicoret oleh pusat dan Aceh langsung setuju-setuju saja. Tapi bagi sebuah proses dialog, lanjut Erman, dengan sudah 'mengalah' dua poin, maka Aceh berhak balik menagih pusat untuk juga 'mengalah' dua poin juga. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 3 Alasan Parpol Ragu Berkoalisi PDIP
Redaktur : Tim Redaksi