jpnn.com, JAKARTA - Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI Rully Chairul Azwar mengungkapkan berbagai kegundahan masyarakat Indonesia terkait pelaksanaan tataran implementasi perekonomian nasional Indoneaia yang dirasakan masih jauh dari semangat dan amanah UUD NRI Tahun 1945 pasal 33.
Berdasarkan hasil kajian sementara Lembaga Pengkajian MPR ditemukan fakta menarik bahwa pada setiap era pemerintahan sejak kemerdekaan, terjadi kesenjangan dan perbedaan nyata antara visi ekonomi konstitusi seperti di dalam UUD 1945 dengan kenyataan penerapan kebijakan yang diambil di bidang perekonomian di lapangan.
BACA JUGA: Lembaga Pengkajian MPR: Perlu Kaji Ulang UU di Bidang SDA, SDM, dan Dunia Bisnis
Prioritas kebijakan ekonomi lebih mengutamakan kepentingan akumulasi modal untuk pertumbuhan ekonomi dari pada pemerataan untuk keadilan sosial bagi seluruh warga negara.
“Kenyataan semacam itu tentu patut menjadi perenungan kita semua. Karena secara ideal, rancang bangun sistem perekonomian Indonesia yang digagas para founding fathers seperti Soekarno dan Hatta jelas termuat dalam pasal 33 UUD 1945. Dalam kerangka keadilan/kesejahteraan sosial itulah para founding fathers menolak kapitalisme liberal sebab dinilai sebagai akar ketimpangan sosial,” katanya.
BACA JUGA: Ketua MPR: Demokrasi Pancasila Harus Melahirkan Keadilan dan Kesejahteraan
Ini disampaikannya dalam acara Simposium Nasional Lembaga Pengkajian MPR RI bertajuk ‘Sistem Perekonomian Nasional Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan UUD 1945’, di Gedung Nusantara IV, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (12/7).
Rully mengatakan, masalah ketimpangan sosial yang sangat tinggi menjadi permasalahan berat buat bangsa Indonesia.
BACA JUGA: Tanah Seharusnya Dikuasai Rakyat Bukan Pemilik Kekuatan
Ketimpangan sosial haruslah dijadikan fokus perhatian dan dijadikan sebagai masalah urgent bagi semua pihak.
Pasalnya, jika masalah pemerataan dan ketimpangan sosial tidak ditangani secara tepat dan benar, maka hal itu bisa memicu konflik dan kekerasan sosial yang akan merugikan stabilitas pembangunan nasional.
Patut disadari bahwa pemerataan dan penuntasan ketimpangan sosial adalah masalah yang sangat urgent karena bisa menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Ketimpangan juga menjadi akar konflik sosial, kejahatan dan kekerasan.
Bahkan, ketimpangan sosial bisa mengancam kohesi sosial dan politik.
“Berdasarkan itulah, Pimpinan MPR menugaskan Lembaga Pengkajian MPR sebagai lembaga dengan fungsi ‘Laboratorium Konstitusi’ untuk melakukan pengkajian topik Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial,” imbuhnya.
Proses kajian yang dilakukan sejak Februari 2017 melalui serangkaian diskusi terbatas yang menghadirkan beberapa tokoh.
Antara lain Prof. Boediono, Prof Emil Salim, Prof. Ginandjar Kartasasmita, Prof. Edi Swasono, Prof. Jimly Asshiddiqie, Prof. Dawam Rahardjo.
Ditambah serangkaian FGD di empat provinsi bekerjasama dengan UNPAD, UNUD, UNDIP dan UGM dan akhir Mei 2017 diselenggarakan Round Table Discussion yang menghadirkan 12 Pakar Ekonomi dan Politik.
“Bertepatan dengan hari Koperasi ke 70 tanggal 12 Juli 2017 ini Lembaga Pengkajian MPR menyelenggarakan sebuah Simposium bertajuk ‘Sistem Perekonomian Nasional untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial berdasarkan UUD 1945’ sebagai puncak dari rangkaian kajian tersebut,” ujarnya.
Dalam simposium tersebut, dibahas makalah kunci yang telah disiapkan oleh steering comittee dari Lembaga Pengkajian MPR yang akan disampaikan oleh Prof. Didik J. Rachbini selaku Ketua Steering Comitte.
“Makalah Kunci ini memuat hasil kajian sementara yang telah dihimpun oleh Lembaga Pengkajian dalam sebuah buku yang diberi judul sementara Ekonomi Pancasila. Selanjutnya akan disempurnakan dalam Simposium,” ungkapnya. (adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Simposium Lembaga Pengkajian MPR Bakal Dihadiri Wapres Jusuf Kalla
Redaktur & Reporter : Natalia