jpnn.com, JAKARTA - Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Menteri/Lembaga tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI pada tanggal 30 Desember 2020 sebagai bukti Negara mewujudkan komitmen nasional dan internasionalnya untuk melaksanakan ketertiban umum dan ketertiban dunia sesuai UUD 1945.
“Pandangan beberapa politisi dan pakar Hukum Tata Negara yang menyatakan SKB 6 Menteri yang tegas melarang kegiatan, menggunakan atribut dan menghentikan kegiatan FPI, sebagai tindakan sewenang-wenang atau otoriter, adalah pandangan yang tidak memiliki dasar hokum,” kata Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) dan Koordinator TPDI Petrus Selestinus kepada wartawan, Rabu (6/1/2021).
BACA JUGA: Komnas HAM Sisir 8.000 Video Terkait Kematian 6 Laskar FPI
Peturs menyampaikan mereka sebaiknya membaca kembali sejarah dan hukum positifnya atau jangan-jangan mereka juga menjadi bagian dari FPI itu sendiri.
Padahal di dalam salah satu konsiderans dikeluarkannya SKB 6 Menteri dimaksud adalah untuk menjaga kemaslahatan ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Keutuhan NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Karena terdapat fakta yang notoire feiten, bahwa FPI secara nyata telah melakukan pelangaran hukum, yang berpotensi mengganggu ketertiban nasional dan dampaknya pada dunia internasional.
BACA JUGA: Kapan Penetapan Tersangka Kasus 6 Laskar FPI?
Menurut Petrus, pelanggaran hukum oleh FPI berdasarkan penilaian Pemerintah adalah pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 huruf g, pasal 6 huruf f, pasal 21 huruf b dan d, pasal 59 ayat (3) huruf a, c, d, pasal 59 ayat (4) hurud c dan pasal 82A UU RI No. 16 Tahun 2017, tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas, yaitu telah mengancam Persatuan dan Kesatuan, Ketertiban dan Kedamaian Masyarakat dan dunia terkait komitmen internasional ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Sanksi Pidana Ditunggu Rakyat
BACA JUGA: Kabar Duka, 3 Dosen IPB Meninggal Dunia Termasuk Seorang Profesor
Pada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata mengancam kedaulatan NKRI, Dasar Negara Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, menurut Petrus, Pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi yang bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh Mendagri atau Menteri Hukum dan HAM. Hal ini sesuai ketentuan pasal 61 ayat (3) UU RI No. 16 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Di dalam konsiderans SKB 6 Menteri, Pemerintah telah mengungkap fakta adanya pelanggaran pidana yang dilakukan oleh FPI, sementara di dalam pasal 60 ayat (2) UU RI No. 16 Tahun 2017, tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas, dikatakan bahwa Ormas yang melanggar ketentuan pasal 52 dan 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Terhadap sanksi Administratif, Pemerintah mengeksekusinya melalui SKB 6 (enam) Menteri, sedangkan sanksi Pidana terkait pelanggaran FPI terhadap ketentuan pidana menurut pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) UU RI No. 16 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang mengancaman dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun, hingga kini belum diproses oleh Polri.
Komitmen Nasional dan Internasional
Publik menunggu konsistensi aparat Polri memproses pidana Mohammad Rizieq Shihab dan elite FPI lainnya atas tindakan yang nyata-nyata mengancam Kedaulatan Negara, Ideologi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945. Karena Pemerintah diyakini telah memiliki bukti atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) UU RI No. 16 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Padahal penjatuhan sanksi administratif dan proses pidana terhadap setiap orang dan atau ormas yang terbukti melakukan tindakan yang mengancam kedaulatan negara, keselamatan NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, dilakukan secara simultan, sebagai wujud komitmen "nasional" dan "internasional", negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, ikut melaksanakan ketertiban dunia.
“Sebagai negara hukum, konsep Hak Asasi Manusia Indinesia, berdasarkan UUD 1945 sebagaimana tertuang dalam pasal 28J UUD 1945 tidak bersifat absolut, ia bersifat relatif karena terdapat kewajiban untuk menghormati dan melindungi HAM orang lain. Oleh karena itu, Polri jangan lagi tarik gigi mundur, karena bahaya sudah di depan mata,” tegas Petrus.(fri/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Friederich