Kendati manuver salah satu korporasi milik Bakrie telah tercium pasar, Presiden Direktur VIVA Erick Thohir tetap enggan membeberkan secara rinci, tentang kabar yang terjadi di tubuh perusahaannya itu. "Saya sebagai manajemen, tidak tahu menahu. Kalau memang ada, pasti saya diberitahu," ungkap Erick kepada Jawa Pos.
Menurut dia, kalaupun suatu perusahaan melangsungkan aksi korporasi berupa penjualan saham, itu sekadar insting natural dalam menjalankan suatu bisnis. "Kalau rugi ya ditutup, kalau bagus dan ada yang mau beli ya dijual," paparnya.
Bahkan, saat ditanya mengenai ketiga kandidat investor yang meminang saham VIVA, Erick juga terkesan menghindar. "Diskusi sama siapa? Saya nggak tahu. Siapa bilang (VIVA) mau dilepas?," sergahnya.
Namun demikian, bukan berarti Erick menutup mata atas kemungkinan terjadinya aksi penjualan saham VIVA. Apalagi, saat ini Erick juga menjadi salah satu pihak yang berhak atas kepemilikan VIVA. "Kalau saya kan sedikit (saham). Kita ikut yang majority saja. Kalau yang majority iya, kita bilang iya. Kalau majority nggak, kita bilang nggak," akunya.
Head of Research Division PT Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan proses penjualan saham VIVA bisa jadi berada di bawah nilai asumsi awal. Hal ini mengingat mengingat rasio utang VIVA hingga akhir kuartal ketiga 2012 cukup tinggi. Total utang (liabilitas) VIVA selama sembilan bulan di 2012 meningkat cukup signifikan sebesar 48,83 persen di angka Rp 1,22 triliun, dibandingkan realisasi 2011 sebesar Rp 822,27 miliar. "Saya kira kalau VIVA minta mahal susah, kalaupun nawar harga bisa rendah. Karena utangnya naik pesat," ungkapnya kepada Jawa Pos.
Tercatat, rasio utang terhadap modal (debt equity ratio/DER) VIVA mencapai 72,7 persen. Asumsi paling kuat atas membengkaknya nilai utang tersebut, salah satunya dipicu pembelian hak siar eksklusif siaran piala dunia 2014 sebesar USD 61,54 juta, atau setara Rp 553,86 miliar. Atas hak yang diterima tersebut, tiga anak usaha VIVA harus membayar biaya hak siar USD 54,1 juta kepada FIFA (Federation Internationale de Football Association), lalu mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan oleh ISM sehubungan dengan proses persiapan, negoisasi, dan eksekusi licence agreement sebesar USD 4,44 juta, dan membayar biaya konsultasi sebesar USD 3 juta.
"Pembeli akan memiliki bargain posisition yang lebih baik, karena Grup Bakrie masih terlibat masalah utang," paparnya.
Kendati demikian, Satrio tak menutup mata atas kinerja VIVA yang cukup moncer hingga selama sembilan bulan pada 2012. Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2012, pendapatan usaha alias revenue VIVA mencapai Rp 916,5 miliar, atau naik 24,9 persen year on year (yoy) dari Rp 733,3 miliar. Sementara total laba VIVA tumbuh luar biasa pesat sebesar 389,9 persen menjadi Rp 85 miliar yoy. Angka tersebut disokong juga dengan nilai kapitalisasi pasar VIVA yang mencapai Rp 8,8 triliun.
Kinerja tersebut setidaknya, sebut dia cukup diperhitungkan oleh beberapa calon penawar saham VIVA. Di antaranya diprediksi datang dari PT Elang Mahkota Teknologi Tbk, yang merupakan induk perusahaan SCTV dan Indosiar. Serta kandidat terkuat yakni konglomerasi besar media MNC Grup Hary Tanoesudibjo, yang dikabarkan menyiapkan Rp 5 triliun untuk mencaplok VIVA.
"Kalau saya lihat, Hary Tanoe pernah beli asset (tol) dari Bakrie. Setidaknya, dia tahu bahwa kondisi keuangan Bakrie seperti apa," jelasnya.
Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada mengatakan, belum bisa berkomentar banyak mengenai valuasi wajar saham VIVA. Akan tetapi, investor dinilai bisa mengambil keuntungan jika ada pengambilalihan saham lebih dari 50 persen. "Bisa mengharap dari tender offer pada harga akuisisi," jelasnya.
Hingga akhir sesi perdagangan kemarin, saham VIVA naik 120 poin di level Rp 630 per lembar saham. Tercatat, saham VIVA diperdagangkan dengan frekuensi sebanyak 5.708 kali. Volume saham VIVA yang diperdagangkan mencapai 264,05 juta lembar, dengan nilai Rp 155,69 miliar.
Seperti yang sering diwartakan, penjualan saham-saham anak perusahaan keluarga Bakrie ini, diproyeksi merupakan manuver Bakrie untuk membeli kembali saham (buyback) permata usahanya, yakni PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dari tangan Bumi Plc, korporasi bermarkas di London, yang didirikan Bakrie dengan Nathaniel Rothschild, Oktober 2010.
Sumber dalam Bakrie kepada Jawa Pos mengatakan, beberapa anak perusahaan yang dijual sahamnya adalah Bakrie Toll Road (BTR) dan tanah di Lido, Sukabumi ke Hary Tanoesudibjo sebesar Rp 3 triliun. Kemudian penjualan asset kebun kelapa sawit milik PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk (UNSP) ke grup Sinarmas senilai USD 178 juta. UNSP juga akan menjual asset Domba Mas sebesar USD 450 juta. Lalu Bakrie Development yang dalam proses menjual tanah di Taman Rasuna seluas 2,5 hektare, dengan harga per meternya sekitar Rp 40 jutaan.
Setidaknya, Bakrie membutuhkan dana sekitar Rp 13 triliun untuk buyback 71 persen saham masyarakat, jika skema tender offer menjadi ekses dari keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bumi Plc, yang digelar di London esok (21/2). (gal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPD Dorong Nasionalisasi Saham Asing
Redaktur : Tim Redaksi