Balinale 2024 Membuka Potensi Pasar Industri Perfilman Tanah Air

Selasa, 04 Juni 2024 – 20:53 WIB
Balinale 2024 membuka potensi pasar bagi industri perfilman di tanah air. Foto: Balinale

jpnn.com, BALI - Bali International Film Festival (Balinale) 2024, terasa istimewa dengan kehadiran pelaku industri perfilman.

Balinale 2024 tidak saja menjadi titik pertemuan east meet west, tetapi juga east meet east.

BACA JUGA: 60 Film dari 25 Negara Bakal Meriahkan Balinale

Pada program Bali Film Forum (BFF), Balinale menjadi wadah pelaku industri bekerja sama, berkolaborasi, dan saling berbagi dalam memotret, serta menjamin keberlangsungan pertumbuhan industri perfilman. 

BFF yang berlangsung pada Minggu (2/6), dihadiri 70 pelaku industri perfilman dari Australia, Selandia Baru, Hong Kong, Malaysia, Amerika, Inggris, India, maupun Indonesia.

BACA JUGA: Balinale Terlibat Dalam 2 Acara Film Internasional di Hong Kong

Dari tiga sesi pembahasan menyangkut industri perfilman jelas tergambarkan keinginan pelaku industri agar Indonesia tidak melewatkan kesempatan menjadi tujuan produksi film-film berkelas dunia dan menjadikan Indonesia mampu menjadi penggerak ekonomi kreatif di kawasan Asia.

Tantowi Yahya,  yang baru melepas jabatannya sebagai duta besar RI untuk Selandia Baru, Samoa dan Tonga, mengawali cerita bagaimana Selandia Baru membangun studio digital visual efek WETA Digital.

BACA JUGA: 3 Berita Artis Terheboh: Gugatan Yasmine Ow Dibatalkan, Penyebab Baim Wong Batal Naik Haji

Studio tersebut dipercaya untuk pekerjaan digital visual efek film-film Hollywood. Weta Digital adalah contoh bagaimana menyatukan kemampuan kreatif individu menjadi raksasa industri dengan tenaga kreatif berkelas dunia.

Agus Maha Usadha, pelaku usaha ekonomi kreatif yang tergabung di Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bali, merasakan dampak besar produksi film Eat, Pray, Love (2010).

“Empatbelas tahun berlalu, tapi Eat, Pray, Love masih memberikan pengaruh positif bagi destinasi-destinasi wisata di Bali. Sangat disayangkan film Ticket to Paradise (2022) bercerita tentang Bali tapi mengambil lokasi produksi di luar Bali,’’ jelas Agus, dalam keterangannya, Selasa (4/6).

Sementara itu, produser dari rumah produksi Starvision, Reza Servia menekankan pentingnya memperluas pasar film Indonesia ke kancah global.

Dia menambahkan bahwa OTT (Over the Top) menjadi peluang besar untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Salah satu strateginya memproduksi film-film yang memiliki "social connection" dan "cross culture" sehingga dapat diterima oleh pasar yang lebih luas. Contohnya film The Architecture of Love (2024) dan Critical Eleven (2017).

Sutradara dan produser kawakan Hong Kong, Stanley Kwan berbagi pengalaman bagaimana negaranya mempertahankan kemajuan industri perfilmannya.

Salah satu strateginya adalah dengan menggabungkan produser berpengalaman dengan sutradara muda yang memiliki pemikiran-pemikiran eksploratif.

Pemerintah Hong Kong juga memberikan dukungan besar dengan mengucurkan dana untuk memproduksi film-film kolaborasi dengan tema-tema mutakhir, drama-drama humanis, isu-isu sosial yang kuat, dan merekrut pemain-pemain muda bertalenta.

Para pembicara dalam forum ini bersepakat bahwa kerja sama dan kolaborasi antar negara menjadi kunci penting untuk memperluas pasar dan meningkatkan kualitas film. (jlo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Suami BCL Diduga Menggelapkan Uang Rp 6,9 Miliar, Korbannya Ternyata...


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler