jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menekankan mengenang peran pemuda di masa perjuangan kemerdekaan, bukan berarti tidak mau beranjak dari romantisme masa lalu.
Ia menegaskan, sejarah adalah media introspeksi diri untuk belajar dari pendahulu.
BACA JUGA: Bamsoet Ungkap Data tentang Kondisi Pemuda Indonesia, Ini Harus Jadi Perhatian
Belajar tentang keteguhan hati dan kegigihan semangat juang, jiwa patriotisme dan nasionalisme, serta cinta tanah air dengan segala pengorbanannya.
Dengan segala keterbatasan, salah satu senjata pamungkas yang mereka miliki adalah tekad baja untuk membela martabat bangsa.
BACA JUGA: Bukannya Ajak Anak ke Masjid, Si Bapak Malah Suruh Mencuri, Malu Sama Tato Allahu Akbar
Banyak di antara mereka gugur di usia muda sebagai kusuma bangsa.
"Misalnya, Jenderal Sudirman yang teguh berjuang dalam masa sakitnya, gugur di usia 34 tahun. Robert Wolter Monginsidi gugur di usia 24 tahun, maupun Martha Christina Tiahahu gugur di usia sangat belia, 17 tahun," kata Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Pergerakan Melompat Maju secara virtual dari ruang kerjanya, Senin (26/10).
BACA JUGA: Peringati Hari Sumpah Pemuda, Bamsoet: Era Kolaborasi Harus Dikedepankan
Ketua ke-20 DPR ini mengungkapkan berbagai potret generasi muda Indonesia masa kini.
Dari aspek demografi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah pemuda sekitar 64,19 juta jiwa atau seperempat dari total penduduk Indonesia.
Dari aspek pendidikan, angka melek huruf berupa kemampuan membaca dan menulis pemuda mencapai 99,66 persen.
Artinya, lanjut Bamsoet, masih ada sekitar 0,34 persen pemuda masih buta huruf.
"Meskipun cukup kecil, namun memprihatinkan karena di tengah upaya mengejar modernitas zaman yang memasuki era Revolusi Industri 4.0 dan era masyarakat 5.0, masih ada sebagian kecil pemuda bangsa yang tertinggal jauh di belakang," ungkapnya.
Wakil ketua umum Kadin Indonesia itu menuturkan, dari aspek ketenagakerjaan sebanyak 61,72 persen pemuda yang bekerja mempunyai pendidikan terakhir sekolah menengah ke atas, dan sekitar 13,07 persen pemuda adalah pengangguran.
Ada hal yang cukup mengejutkan, dari aspek sosial ekonomi ternyata 44,47 persen pemuda tinggal di rumah tidak layak huni.
Kondisi tersebut harus mendapatkan perhatian khusus dari segenap pemangku kepentingan.
"Secara umum, tolok ukur memotret 'wajah' pemuda juga dapat dirujuk dari angka Indeks Pembangunan Pemuda (IPP), yang merepresentasikan berbagai capaian kepemudaan pada lima bidang dasar. Yaitu pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan, serta gender dan diskriminasi," tutur Bamsoet.
IPP Nasional selalu mengalami pasang surut. Pada 2015, IPP Nasional sebesar 47,33 persen.
Pada 2016 meningkat menjadi 50,17 persen, namun turun di angka 48 persen pada 2017, dan naik kembali menjadi 50,17 persen di 2018.
Menurut Kepala Badan Bela Negara FKPPI itu, dinamika tersebut menunjukkan bahwa IPP Nasional masih berada pada level menengah.
Berbagai data kepemudaan tadi sangat penting, karena saat ini Indonesia telah menginjakkan kaki pada tahap awal bonus demografi.
"Menurut perkiraan BPS, rentang waktu antara tahun 2020 hingga 2035 adalah periode di mana jumlah penduduk usia produktif akan berada pada titik tertinggi sepanjang sejarah Indonesia, mencapai 68 sampai 75 persen dari total jumlah penduduk Indonesia," urai Bamsoet.
Waketum Pemuda Pancasila ini menguraikan, apakah bonus demografi tersebut dapat dioptimalkan, atau justru menjadi sebuah kemubaziran?
Tentu kata Bamsoet, akan sangat tergantung pada kemampuan generasi muda beradaptasi dan meningkatkan kompetensi diri.
Terlebih bangsa Indonesia telah memiliki Visi Indonesia Emas 2045, yang menggariskan empat pilar utama.
"Pertama, pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ketiga, pemerataan pembangunan. Keempat, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan," tambahnya.
Wakil Ketua Umum SOKSI ini menjelaskan, ada beberapa poin penting yang tersirat dalam rumusan pilar-pilar utama tersebut.
Pertama, visi ini menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek pembangunan, yang mensyaratkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana meraih keberhasilan.
Kedua, visi ini hanya bisa diwujudkan melalui proses pembangunan.
Ketiga bahwa pembangunan adalah proses yang berkelanjutan, terus menerus, tidak berhenti pada satu titik pencapaian.
Keempat, upaya mewujudkannya membutuhkan dukungan lingkungan yang kondusif, antara lain ketahanan nasional yang tangguh dan stabil, serta perbaikan tata kelola pemerintahan sebagai sistem penopang.
"Dari perspektif demografi, dengan komposisi jumlah pemuda yang cukup banyak dan signifikan, generasi muda mempunyai peran vital mewujudkan cipta kondisi yang kondusif demi keberlangsungan pembangunan nasional," pungkas Bamsoet. (boy/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Boy