jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan indeks inklusi keuangan Indonesia pada 2021 mencapai 83,6 persen atau meningkat dari 81,4 persen pada 2020.
Di sisi lain, tingkat literasi keuangan di Indonesia pada 2019 baru mencapai 38,03 persen. Ketimpangan tingkat literasi finansial masyarakat dengan indeks inklusi keuangan tersebut menjadi bagian dari penyebab lahirnya beberapa skandal keuangan. Ada indikasi masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja sektor jasa keuangan.
BACA JUGA: Bamsoet Dorong Komunitas Otomotif Masifkan Sosialisasi Keselamatan Berkendara
"Kasus asuransi Jiwasraya, First Travel, Koperasi Pandawa Depok, berbagai investasi bodong adalah beberapa contoh skandal keuangan yang sangat merugikan masyarakat. Satuan Tugas Waspada Investasi OJK mencatat selama 10 tahun terakhir jumlah kerugian investasi bodong mencapai Rp. 117,5 triliun," ujar Bamsoet.
Hal itu dikatakan dalam keynote speech di Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada secara virtual dari Jakarta, Kamis (29/9).
BACA JUGA: Ketua Parlemen Rusia Ingin Bertemu, Bamsoet Merespons Begini
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan peningkatan inklusi dan literasi keuangan nasional serta perkembangan ekonomi digital harus dilihat sebagai sebuah potensi ekonomi, baik sebagai peluang investasi, alternatif sumber pemasukan negara, maupun stimulus memajukan perekonomian nasional.
Misalnya, besarnya pasar kripto di Indonesia yang di samping menawarkan beberapa keunggulan dan menghadirkan tingginya faktor risiko. Karena itu, diperlukan sikap kehati-hatian.
BACA JUGA: Bamsoet Berharap Atlet Indonesia Menangi Kejuaraan Dunia Panjat Tebing di Jakarta
"Kementerian Perdagangan melaporkan transaksi aset kripto di Indonesia sepanjang 2021 mencapai Rp 859 triliun dengan jumlah investor Rp 11,2 juta. Sebanyak Rp 7,5 juta di antaranya berasal dari kalangan milenial dan nilai transaksi harian Rp 2,7 triliun,’’ ungkap Bamsoet.
Jumlah investor aset kripto jauh lebih besar dari jumlah investor di pasar modal berbasis Single Investor Identification (SID) yang jumlahnya baru mencapai sekitar 7,48 juta investor.
Kemampuan pasar aset kripto dalam menghimpun dana tersebut jauh lebih besar dibandingkan kemampuan pasar modal konvensional yang jumlahnya masih berada pada kisaran Rp 363,3 triliun.
‘’Menempatkan pasar aset kripto Indonesia menjadi yang terbesar di Asia Tenggara serta dikabarkan menempati posisi 30 di dunia," ucap Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Soksi ini menerangkan pemanfaatan aset kripto mensyaratkan adanya literasi finansial yang memadai.
Maraknya penawaran investasi ilegal dan belum optimalnya infrastruktur penunjang menyebabkan masyarakat belum sepenuhnya memahami proses bisnis dari industri aset kripto.
Berbagai gambaran tersebut mengisyaratkan pesan penting bahwa ada urgensi meningkatkan tingkat literasi keuangan sebagai wahana edukasi bagi masyarakat.
‘’Saya mengapresiasi langkah OJK dalam berbagai kegiatan penyuluhan jasa keuangan kepada masyarakat. Demikian juga langkah Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) dalam melakukan sosialisasi dengan cukup gencar,’’ ungkapnya.
Namun, Bamsoet juga memercayai upaya membangun literasi finansial hanya akan berdampak optimal jika melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk lingkungan akademik/perguruan tinggi, dan industri jasa keuangan.
‘’Dengan demikian, dampaknya akan lebih membumi dengan daya jangkau yang lebih masif," kata Bamsoet. (mrk/jpnn)
Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi